Aku masih sering bertanya pada bayanganku sendiri, apa yang sebenarnya kupahami dari cinta hingga aku begitu gegabah mempercayainya. Waktu itu, dunia terasa seperti mimpi yang kupaksakan menjadi nyata. Aku menutup telinga pada suara-suara yang berseru agar aku mundur. Mereka, teman-temanku, datang dengan mata terbuka, membawa kekhawatiran dan kasih sayang, namun aku memilih buta. Kataku, cinta tak butuh logika, hanya keyakinan. Nyatanya, kini aku terseret oleh keyakinanku sendiri ke dalam jurang yang dalam, di mana gelap menjadi teman bicara dan sunyi adalah nyanyian harian.
Aku hampir gila. Benar-benar. Ada malam-malam ketika pikiranku berlari terlalu cepat sementara tubuhku tak sanggup bergerak. Tangisku tak lagi basah, hanya sesak yang menggantung panjang di langit-langit kamar. Aku merasa seperti rumah yang ditinggalkan, penuh debu dan sarang laba-laba dari kenangan yang menolak pergi. Jiwaku bukan lagi jiwaku yang dulu. Aku yang sekarang adalah reruntuhan yang terus mengais sisa-sisa rasa yang bahkan bukan milikku seluruhnya. Aku menjadi asing bagi diriku sendiri, menatap wajah di cermin dan tak mengenal siapa yang kembali menatapku.
Malam kini bukan lagi tempat pulang. Ia berubah menjadi lorong sempit, tempat aku berbincang dengan luka yang menetap. Tangisku bukan hanya karena patah, tetapi karena sadar bahwa aku menyakiti diriku sendiri dengan mencintainya terlalu dalam. Dia yang ku puja seakan langit, ternyata bahkan tak berniat menjejakkan kaki di bumi yang sama denganku. Sementara aku, seperti bintang jatuh yang kehilangan arah, terbakar habis oleh harapan yang tak pernah menjadi nyata.
Andai bisa kutarik kembali waktu, ingin rasanya aku mendekap diriku yang dulu. Aku ingin berbisik pelan, hati-hati, jangan jatuh terlalu keras. Tapi semua itu kini hanya jadi ilusi yang terlambat. Yang tersisa hanyalah aku, dengan dada yang sesak, langkah yang berat, dan sepi yang membatu. Aku menyesal, bukan hanya karena cinta ini kandas, tetapi karena membiarkan diriku patah di tempat yang sebenarnya bisa ku hindari. Andaikan aku cukup berani untuk percaya pada kebenaran, bukan pada harapan semu, mungkin aku tak akan hancur sejauh ini.
Kini aku sedang belajar memungut serpihan-serpihan diriku sendiri, satu per satu, dengan tangan yang gemetar. Aku tahu ini tak mudah, tapi aku ingin kembali utuh. Bukan untuk dia, melainkan untuk diriku sendiri. Aku tak ingin lagi menjadi kuburan bagi cinta yang salah. Biarlah kisah ini berhenti di sini, tanpa dendam, tanpa tanya, dan tanpa pintu yang terbuka kembali.
Karena sesak ini sudah cukup. Luka ini tak perlu diwariskan lagi. Dan aku, seberapa pun sulitnya, harus pulang. Kepada diriku sendiri. Kepada jiwa yang selama ini kugadaikan demi cinta yang bahkan tak pernah benar-benar memelukku.
Penulis: Dewi
Penyunting: Asil