Tidak Selamanya Baik, Self Reward Juga Bisa Jadi Bencana

Tidak Selamanya Baik, Self Reward Juga Bisa Jadi Bencana

Sharing is Caring
       
  

SELF REWARD, istilah ini tentu tidak asing di telinga kita. Apalagi sudah banyak berhamburan postingan-postingan di sosial media yang berkedok self reward. Setelah kita lelah dengan pekerjaan dan keadaan, lalu kita burn out¹, akhirnya memutuskan untuk self reward. Hal itu sudah menjadi sebuah kebiasaan yang dilakukan oleh setiap orang.

Katanya self reward dilakukan agar kita bisa survive dari pekerjaan yang toxic, tidak memiliki support system, dan lain sebagainya. Di satu sisi memang ada benarnya, konsep self reward ini bisa menjadi hal yang baik karena diri kita sendiri juga perlu diapresiasi.

Sayangnya, tidak selamanya konsep self reward ini baik untuk diri kita. “It is okay to unextend”, artinya itu baik-baik saja dalam batasan tertentu. Kalau kita terlalu terlena dengan konsep ini atau membuat kita jadi tidak berusaha lagi, ini yang akan membuat self reward menjadi sebuah bencana.

Self reward ini hadir karena mental health awareness yang berlebihan bahwa kesehatan mental yang bagus itu didasari dengan kita mencintai diri sendiri dan kita juga harus sadar kapan kita harus berusaha, kapan kita harus bekerja, dan kapan kita harus menghargai diri kita sendiri.

Kali ini penulis ingin menjelaskan beberapa self reward yang bagus dan tidak. Namun, kita harus tahu terlebih dahulu mengenai konsep coping stress sebelum kita menggunakan self reward. Jika kita menggunakan coping stress dalam self reward, maka kita akan kabur-kaburan dalam menghadapi berbagai masalah.

Ilustrasi self reward dengan berbelanja. (Foto: Jelena Danilovic/iStockphoto)

Apa itu coping stress? Ada dua teori mengenai hal ini, problem focused dan emotional focused, yang paling bagus diantara dua teori ini menurut penulis adalah problem focused karena teori ini menjelaskan jika kita dalam keadaan stres atau terjebak dalam suatu masalah yang rumit, maka kita harus berusaha menyelesaikan masalah tersebut. Sementara itu, emotional focused adalah apabila kita ada dalam keadaan stres, kita hanya menenangkan emosi kita. Itu letak masalahnya karena semua tujuan hanya untuk menyenangkan emosi.

Emotional focused coping setiap orang berbeda-beda. Misalnya, kita ada dalam kondisi stres di mana kita mengatasi suatu masalah dengan membeli tas mahal, jalan-jalan ke luar negeri, sekadar menyeduh mie instan, dan bahkan bernapas sudah bisa menenangkan sebuah emosi. Jika emotional focused kita sesimpel menarik napas itu tidak akan merugikan dibandingkan kita harus membeli barang-barang mahal yang membuat kita boros. Emotional focused coping juga memiliki berbagai dampak negatif dan positif. Emotional focused coping memiliki tingkatan, akibat, dan cara yang berbeda-beda. Ini sangat berhubungan dengan self reward karena orang pada umumnya beranggapan self reward hanya untuk mengatasi stres.

Problem focused coping setiap orang juga berbeda. Misalnya, kita ada dalam suatu kondisi stres di mana kita mengatasi masalahnya dengan ikut webinar manajemen waktu, belajar cara mengatasi atasan yang galak, kinerja menjadi lebih optimal, dan sebagainya. Kedua teori ini bagus, tetapi lebih bagus jika kita ada masalah, maka kita fokus pada masalahnya dan tidak dulu mementingkan emosi kita.  Walaupun ada juga beberapa masalah yang tidak bisa diselesaikan dengan problem focused, seperti ada keluarga yang meninggal. Kita tidak bisa menyelesaikan masalah itu.

Mayoritas self reward yang kita hadapi sekarang ada di konsep emotional focus coping. Self reward yang bagus didapatkan ketika kita sudah mencapai suatu titik tertentu dan apresiasi yang didapat sebagai penguatan diri agar menjadi lebih baik. Di mana penguatan diri ini adalah cara menghargai diri ketika mencapai batas sesuai standar tertentu. Masalah jika kita tidak menentukan standar, maka kita akan semena-mena mengapresiasi diri kita. Kita hanya akan mengapresiasi malas dan stres kita. Itu lah yang membuat koneksi antara stres dan apresiasi itu sendiri hingga kita akan bermalas-malasan, kabur dari masalah, dan sebagainya.

Manfaat dari kita memiliki standar adalah kita akan jauh lebih termotivasi, lebih percaya diri, dan lebih positif dalam menjalani hidup. Adanya apresiasi akan membuat sistem kepuasaan yang ada di dalam otak. Sistem ini dirancang pada tubuh kita untuk memberi dopamine atau penghargaan pada diri yang akan membuat kita menjadi lebih baik dan bahagia.

Sehat mental yang sebenarnya adalah ketika kita bisa berfungsi dengan optimal dan kita dapat menjalani hal yang kita suka. Jika ada sesuatu yang membuat emosi dalam diri kita senang tapi, disatu sisi menurunkan performa kita, bisa jadi itu bukan self reward. Kadang, kesehatan mental bukan hanya tentang kenyamanan tapi tentang bagaimana kita mampu meningkatkan performa kita menjadi lebih baik. Zaman sekarang mayoritas akan mengatakan bahwa hal itu adalah toxic dan juga akan berdampak pada material yang kita miliki, jangan sampai karena self reward kita jatuh ke dalam lubang kemiskinan.

Intinya self reward itu tidak perlu mahal, harus ada standar tertentu untuk mendapatkan itu, dan usahakan jangan disamakan antara emotional focused coping dan self reward. “Balance is a key”, kita juga harus seimbang dalam hal kesehatan mental, performa, dan dalam hal apapun itu.


¹kondisi stres kronis di mana pekerja merasa lelah secara fisik, mental, dan emosional gara-gara pekerjaannya.

Penulis: Zai

Editor: Ums

One thought on “Tidak Selamanya Baik, Self Reward Juga Bisa Jadi Bencana

  1. Setuju,, apresiasi diri dengan adanya self reward yang sesuai antara situasi dan keadaan yang memang sebenar-benarnya.. Mengingat, saat ini banyak beberapa yang mengatasnamakan self reward sedangkan dibaliknya ada unsur memaksakan keadaan.. Semanga terus LPM Warta Jitu

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *