Bu, Aku Mau Pulang!

Bu, Aku Mau Pulang!

Sharing is Caring
       
  

Jemima, gadis berusia 20 tahun yang tengah menempuh pendidikan di salah satu universitas terkenal di Jogja ini sedang berlari tergopoh-gopoh menuju ruang kelasnya. Sekarang jam menunjukkan pukul 09.00 WIB dan kelas pagi hari itu sudah dimulai sejak 30 menit yang lalu. Seraya mengatur frekuensi detak jantungnya yang tidak normal akibat berlarian dari parkiran fakultas, Jema membuka pintu kelas yang tentunya langsung menjadi sorotan teman-teman beserta dosen yang mengajar.

“Maaf, bu. Saya-“ Ucapan Jema terpotong karena sang dosen langsung menyuruhnya duduk. “Saya hanya memberi toleransi waktu terlambat 30 menit, lebih dari itu tidak perlu mengikuti kelas saya selama satu semester” Ucap dosen itu enteng.

Jema yang masih sibuk mengatur nafasnya kembali merasa tercekat, meskipun ia belum terlambat lebih dari 30 menit, namun suasana kelas menjadi lebih mencekam hanya karena kehadirannya.

“Harusnya kamu gak perlu masuk sekalian, Je” bisik teman di sebelahnya. Jema hanya tersenyum samar.

Mata kuliah 3 SKS pagi itu berhasil Jema lalui meskipun dengan suasana hati yang tidak baik-baik saja.

”Gara-gara kamu sih, Je! Bu Imey jadi marah kan, padahal sebelumnya santai-santai aja” Kata Sheila, teman sekelas Jema yang tadi duduk di sebelahnya.

Ojo ngomong ngunu ta, kasihan Jema. Pasti ada alasan kenapa Jema tadi terlambat. Wong biasanya gak telat kok, ya Je?” Kata Adri, teman sekelas Jema juga.

“Ya apapun alasannya, jangan sampai bikin orang lain rugi dong! Mending dia bolos sekalian” Sheila tetap dengan angkuh menyudutkan Jema.

“Kalo dia bolos, malah dia tambah kena Bu Imey”

“Gak peduli lah, kan yang penting gak semua ikutan kena badmood-nya Bu Imey kayak tadi” Sheila tak mau kalah.

Jema segera merapihkan buku dan alat tulis dan memasukkannya ke dalam tas. “Maaf ya, teman-teman. Tadi, motor aku mogok, aku gak tau kenapa karena bensinnya baru aku isi full kemarin. Akhirnya, aku dorong motor ku sampai ke kampus karena gak mungkin aku tinggal di pinggir jalan raya. Aku pikir bakal keburu, ternyata malah telat 30 menit. Maaf karena aku masuk kelas hari ini dan malah bikin kalian kena juga. Tapi, Sheil, ibu bapak ku jauh-jauh kirim aku ke Jogja bukan cuma untuk bolos. Kalian tadi juga tau kan aku udah mau jelasin ke Bu Imey tapi keburu dipotong beliau. Sekali lagi, maaf ya” Usai menyelesaikan kalimatnya, Jema keluar kelas. Meninggalkan teman-teman yang lain dan Sheila dengan rasa bersalahnya.

Jema berjalan menuju perpustakaan kampus, langkahnya jauh lebih santai dibandingkan tadi, karena jadwal mata kuliah kedua masih lama, masih sekitar 3 jam lagi. Jema ingin menyelesaikan tugas proposal penelitiannya di perpustakaan. Karena sore ini, proposal tersebut sudah harus diserahkan kepada dosen pembimbingnya. Di tengah perjalanan, Jema dihadang kakak tingkat yang sekaligus menjadi rekan satu organisasinya di Himpunan Mahasiswa.

“Je, Je!”

“Eh, iya kak? Kenapa?”

“Boleh minta tolong kasihin proposal kegiatan ini ke Bu Tia? Nanti sih jam 4, tapi aku mau ada urusan di luar kampus, terus anak-anak humas lainnya juga pada sibuk” Kata Sindi, anggota divisi humas pada kepanitiaan kegiatan yang akan diadakan oleh Himpunan Mahasiswa di jurusan Jema. Bu Tia adalah Pembina Himpunan Mahasiswa-nya.

“Aduh, kak. Bukannya aku gak mau, tapi jam 4 aku juga ada bimbingan proposal sama Pak Aji”

“Alah, Je. Kasih ke Bu Tia doang sambil jelasin isi proposalnya dikit-dikit bentar, gak sampai setengah jam paling

“Gimana ya, kak” Jema terlihat berpikir

“Ah, wes wes, gak usah kebanyakan mikir. Nih, kasihkan ya, Je. Aku buru-buru banget” Sindi berlalu dari hadapan Jema. Jema masih terpaku di tempat dengan satu bundel proposal di tangan. Masalahnya, Pak Aji, dosen pembimbing Jema, meminta bertemu di ruang rapat, sedangkan Bu Tia berada di ruangan dosen yang jaraknya cukup jauh dari ruang rapat, kedua ruangan itupun terletak di lantai gedung fakultas yang berbeda. Jema meneruskan perjalanannya sambil menimbang-nimbang, proposal mana yang harus terlebih dahulu ia berikan. Proposal penelitian miliknya atau proposal kegiatan milik organisasi?

Kelas kedua berakhir pukul 15.45 WIB, masih ada 15 menit sebelum jam yang ditentukan dosen pembimbing Jema untuk bertemu. Namun, Jema menerima pesan dari dosen tersebut.

Jemima, temui saya sekarang saja. Saya ada urusan lagi jam 4

Jema buru-buru menemui Pak Aji, bukankah lebih baik jika jam bimbingan dimajukan karena Jema jadi mempunyai waktu untuk mengantarkan proposal kegiatan kepada Bu Tia.

Sesampainya di depan ruang rapat, Jema menghembuskan nafas berkali-kali guna membuatnya merasa lebih tenang, merapalkan do’a – do’a agar proposal penelitiannya di terima.

“Silakan duduk, mana proposalmu?” Kata Pak Aji setelah Jema muncul di hadapannya. Pak Aji ini terkenal sebagai dosen yang agak rese. Itu sebabnya, Jema sangat khawatir proposalnya akan ditolak. Baru saja Jema mendaratkan pantatnya di kursi empuk di ruangan itu, Pak Aji langsung melempar proposal Jema.

“Judul penelitian apa itu? Sampah!”

Jema merasakan desir darahnya yang terpacu lebih cepat, dada nya sesak, proposal yang selama seminggu ini membuatnya tidur di atas jam 12 malam, dilempar begitu saja oleh dosen pembimbingnya, bahkan dibilang SAMPAH.

“Pak, saya punya alasan kenapa saya mengambil judul itu. Biar saya jelaskan terlebih dahulu” Kata Jema berusaha tenang

“Tidak perlu. Judul proposal yang mirip dengan punya kamu itu sudah pernah diajukan oleh kakak tingkatmu, hasilnya apa? Penelitiannya gagal. Untuk apa meneliti sesuatu yang kamu sudah tau akan gagal” Kata Pak Aji kekeuh.

“Pak, saya tidak akan tahu penelitian saya akan berhasil atau tidak karena saya belum mencobanya”

“Setelah kamu coba, lalu gagal, apa yang akan kamu lakukan? Mengulang? Membuang waktu!”

“Mungkin bapak bisa lihat dulu kerangka teori dan kerangka kerja yang saya buat, Pak” Jema masih terus berusaha mempertahankan judul proposalnya.

“Tidak perlu. Dari judulnya saja saya tahu isi proposalmu sampah. Ganti judulnya, ya. Minggu depan temui saya lagi di waktu dan tempat yang sama. Kamu boleh pergi, saya ada urusan lain. Kamu sudah membuang waktu saya 15 menit”

Jema keluar dari ruang rapat. Sudah pukul 16.15, yang artinya ia pun terlambat mengantarkan proposal kegiatan. Sembari menyeka air mata nya yang sudah hampir menetes, Jema melangkahkan kaki menuju lift untuk segera sampai ke lantai 3, ruangan dosen berada. Entah kenapa rasanya waktu berjalan sangat lambat. Lift dari lantai 1 itu membawa Jema ke lantai 3, namun sebelumnya berhenti lama sekali di lantai 2 karena ada penumpang lift lainnya. Jema berulangkali mengecek jam tangannya. Jarum jam terus berputar, menandakan waktu kian larut. Setelah beberapa menit berlalu, akhirnya Jema sampai di lantai 3, segera ia berlari ke ruangan dosen.

Jema berpapasan dengan Bu Tia, beliau terlihat sudah akan pulang ke rumahnya.

“Bu, maaf saya terlambat, ini saya mau memberikan proposal kegiatan”

“Oh, iya, Jemima. Terima kasih, ya. Tapi, maaf, saya pelajari di rumah saja, ya? Saya harus menjemput anak saya di tempat bimbel. Besok saya kabari lagi” Kata Bu Tia menerima proposal tersebut kemudian berlalu dari hadapan Jema. Tidak lama dari itu, Jema mendapatkan panggilan suara dari Sindi. 

Je, kamu gimana sih? Bu Tia sampai nungguin, loh! Kenapa antar proposal begitu aja pake acara terlambat sih?!” Di seberang sana, Sindi sudah mencak-mencak.

“Maaf, kak. Saya tadi menemui Pak Aji dulu” Kata Jema lemas, energinya sudah terkuras habis hari ini.

Egois kamu, ya. Mendahulukan kepentingan pribadi daripada kepentingan bersama” Sindi mematikan panggilannya secara sepihak.

Jema terduduk lesu. Ia menekukkan lutut dan menyembunyikan wajahnya di sana. Jema terisak perlahan. Awalnya, isakan itu hanya mengeluarkan air mata, namun lama-kelamaan mengeluarkan rintihan menyayat hati. Mengapa orang-orang tidak memberikan Jema kesempatan untuk menjelaskan keadaannya? Memang siapa yang mau motornya mogok dalam perjalanan berangkat ke kampus sampai menyebabkan iaterlambat masuk kelas? Memang siapa yang mau proposal penelitiannya ditolak dan dianggap sampah oleh dosen pembimbingnya sendiri? Memang siapa yang mau terlambat mengantar proposal kegiatan sampai dianggap egois? Egoiskah Jema? Lalu, orang-orang itu tidak?

Dalam isakannya, Jema mengingat wajah orang tua nya. Wajah penuh harap kepadanya. Wajah yang selalu Jema rindukan. Wajah bapak yang sangat bangga saat mengantarkan Jema ke bandara, wajah ibu yang selalu berharap anak bungsunya itu baik-baik saja di perantauan sana. Jema ingin di samping ibu bapaknya, sama seperti saat ia masih kecil. Saat ia menangis karena dijahili oleh kakaknya, ibu menenangkan Jema sembari membawakan segelas susu coklat kesukaannya.

“Bu, tempat ini sepertinya tidak cocok untuk Jema. Bu, Jema mau pulang!”.

Penulis: Anida

Editor: Anisa

One thought on “Bu, Aku Mau Pulang!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *