Judul buku: Bungkam Suara
Pengarang: Jombang Santani Khairen
Penerbit: Grasindo (PT. Gramedia Widiasarana Indonesia)
Tahun terbit: 2022 (cetakan pertama)
ISBN: 9786020529813
Tebal buku: 376 halaman
Harga buku: Rp123.000,00
Novel Bungkam Suara merupakan karya Jombang Santani Khairen yang diterbitkan oleh Grasindo (PT. Gramedia Widiasarana Indonesia) pada tahun 2022. Dengan ketebalan 376 halaman, novel ini menawarkan sebuah cerita fiksi yang kaya akan imajinasi dan penuh dengan kritik sosial.
Novel Bungkam Suara hadir seperti tamparan dingin di tengah euforia kebebasan berekspresi. J.S. Khairen membangun dunia distopia Negara Kesatuan Adat Lemunesia (NKAL) dengan cermat, sebuah negara fiksi yang tidak terdeteksi di peta dunia dan menganggap dunia lain sebagai Dunia Luar. Dengan sistem kepemimpinan yang unik, NKAL diperintah oleh Raja Utama yang dipilih secara bergilir dari kerajaan-kerajaan kecil dan Pemangku Adat yang dipilih langsung oleh rakyat setiap delapan tahun sekali. Namun, sistem ini menimbulkan ketegangan politik, terutama ketika Hari Bebas Bicara (HBB) dijadikan kebijakan negara. Dalam satu hari tersebut, rakyat boleh berbicara sebebas-bebasnya tanpa takut dihukum, tetapi kebebasan ini perlahan berubah menjadi bumerang yang memicu konflik di seluruh negeri.
Alur cerita novel ini mengikuti Timmy, seorang remaja biasa yang tiba-tiba harus berjuang membuktikan bahwa ayahnya tidak bersalah atas tuduhan penipuan besar-besaran. Namun, di negara dengan pengawasan ketat dan kebijakan yang terlihat demokratis tapi sebenarnya mengekang, mencari kebenaran bukanlah perkara mudah. Timmy mulai menyadari bahwa HBB bukan sekadar kebijakan unik, melainkan alat kontrol yang lebih canggih. Perjalanan Timmy membuka banyak rahasia dan kejanggalan di balik kekuasaan NKAL, membuat cerita ini sarat akan ketegangan dan kejutan yang terus menguji nalar pembaca.
Salah satu kekuatan utama novel ini terletak pada dunia fiksi yang kaya dan imajinatif. J.S. Khairen dengan cermat membangun NKAL dengan detail yang menarik, mulai dari struktur pemerintahan, budaya, hingga istilah-istilah khas yang memperkuat atmosfer dunia yang ia ciptakan. Konsep HBB sendiri menjadi gagasan yang unik sekaligus refleksi tajam terhadap realitas kebebasan berbicara di dunia nyata. Ketegangan politik yang terus meningkat, ditambah dengan kritik sosial yang menyentil berbagai fenomena seperti cancel culture dan polarisasi masyarakat, membuat novel ini bukan hanya sekadar fiksi, tetapi juga cerminan dari kondisi sosial yang sebenarnya.
Selain itu, kelebihan lain yang membuat novel ini semakin menarik adalah penyisipan kutipan-kutipan inspiratif di setiap episodenya. Misalnya, pada episode 37 yang berjudul Nahkoda, terdapat kutipan yang menggugah pemikiran.
“Isi kepala kita diaduk. Pikiran kita diombang-ambing. Setiap hari. Kita saja yang tak sadar. Maka, orang-orang yang punya prinsip kuat, yang dalam literasinya, yang tajam mata dan telinganya, punya pegangan yang kokoh.”

Kutipan semacam ini menambah kedalaman makna dalam cerita dan membuat pembaca merenungkan berbagai aspek kehidupan, terutama bagaimana kita menghadapi arus informasi yang semakin deras dan penuh manipulasi.
Namun, ada beberapa kelemahan dalam novel ini yang membuatnya terasa kurang sempurna. Kompleksitas karakter yang beragam membuat beberapa tokoh terasa kurang berkembang, sehingga sulit bagi pembaca untuk benar-benar terhubung dengan mereka. Penggunaan banyak istilah khas NKAL yang unik juga terkadang membuat pembaca harus beradaptasi lebih lama agar bisa memahami alur cerita dengan baik. Selain itu, meskipun NKAL digambarkan dengan cukup detail, eksplorasi latar belakang dunia fiksi ini masih terasa terbatas. Sejarah, budaya, dan kehidupan sosial di NKAL bisa lebih diperdalam agar dunia yang dibangun semakin terasa nyata.
Yang paling disayangkan dari novel ini adalah ending yang menggantung. Setelah perjalanan panjang yang menegangkan, cerita ditutup dengan banyak pertanyaan yang belum terjawab, seolah-olah disiapkan untuk sekuel. Beberapa subplot penting, seperti motif sebenarnya di balik tuduhan terhadap ayah Timmy, tidak tuntas dieksplorasi. Klimaks cerita yang terasa terburu-buru membuat bagian akhir novel ini meninggalkan kesan yang agak menggantung dan kurang memuaskan.
Terlepas dari kekurangan tersebut, Bungkam Suara tetap merupakan novel yang menarik dengan alur yang seru dan penuh kejutan. Dengan gaya bahasa yang mengalir, kritik sosial yang tajam, dan kutipan inspiratif di setiap episodenya, novel ini memberikan pengalaman membaca yang bukan hanya menghibur, tetapi juga mengajak pembaca untuk berpikir lebih dalam tentang kebebasan berbicara, propaganda, dan manipulasi informasi dalam dunia modern. Novel ini sangat direkomendasikan bagi mereka yang menyukai cerita distopia dengan kritik sosial yang kuat. Namun, bagi yang tidak suka akhir cerita yang menggantung, sebaiknya bersiap-siap sebelum membaca novel ini.
Penulis: Dewi
Penyunting: Dyaa