Di era digital, media sosial bukan hanya menjadi tempat berbagi momen, tetapi juga arena tak kasat mata yang membentuk standar dalam hubungan. Pasangan yang terlihat selalu romantis, memberikan kejutan mewah, atau sering mengunggah foto bersama dianggap sebagai definisi “relationship goals”. Namun, benarkah semua yang kita lihat itu mencerminkan kenyataan?
Sering kali, apa yang ditampilkan di media sosial tidak menggambarkan kehidupan sehari-hari secara utuh. Fenomena ini menciptakan standar hubungan yang jauh dari kenyataan, membentuk ekspektasi yang tidak realistis, terutama di dalam hubungan percintaan.
Banyak pasangan merasa tertekan untuk menunjukkan hubungan mereka di media sosial agar dianggap bahagia. Jika tidak sering memposting kebersamaan, muncul anggapan bahwa hubungan tersebut bermasalah. Padahal, hubungan yang sehat tidak diukur dari seberapa sering dipamerkan, melainkan dari komunikasi, kepercayaan, dan kenyamanan antar pasangan.
Selain itu, ekspektasi yang terbentuk dari media sosial sering kali tidak realistis. Banyak konten yang menampilkan momen-momen terbaik tanpa memperlihatkan perjuangan dan konflik yang sebenarnya ada dalam setiap hubungan. Hal ini bisa memicu ketidakpuasan dan perbandingan yang tidak sehat, ketika seseorang mulai merasa hubungannya kurang sempurna hanya karena tidak seperti yang ada di media sosial.
Akun TikTok @bithaselflove, misalnya, menyatakan pria yang mengajak pasangan untuk membagi tagihan makan bukanlah pria sejati karena mereka tidak memiliki “provider mindset”. Narasi seperti ini kembali membentuk ekspektasi yang bisa membebani salah satu pihak dalam hubungan, terutama pria. Seolah-olah, nilai seorang laki-laki dalam hubungan hanya diukur dari kemampuannya membiayai pasangan.
Mengutip dari akun X @bagogohoho yang berkomentar perihal postingan @bithaselflove, dengan menyoroti bagaimana konsep split bill sering dibesar-besarkan seolah menjadi standar absolut dalam semua tahapan hubungan.
“Ini konten yang paling banyak kena doktrin, soal split bill dibawa sampe nikah, padahal kalau udah nikah pasti kewajiban suami menafkahi, masa ngomong semua apa-apa split bill dibawa sampe punya anak,” tulis akun @bagogohoho yang diunggah pada (22/1).

Pendapat ini menunjukkan bahwa pembagian biaya dalam hubungan seharusnya disesuaikan dengan konteksnya. Dalam tahap pacaran atau kencan, ada pasangan yang nyaman berbagi tagihan karena ingin lebih setara, sementara yang lain mungkin lebih suka mengikuti pola tradisional yang mana pria lebih dominan dalam urusan finansial. Namun, dalam pernikahan, sudah ada kewajiban hukum dan norma sosial yang mengatur tanggung jawab suami dalam menafkahi istri dan anak-anaknya.
Sementara itu, akun @winternaaa, menekankan bahwa hubungan tidak seharusnya terjebak dalam ekspektasi media sosial.
“Dalam hubungan itu harus seimbang, saling ‘meratukan’ dan ‘merajakan’ satu sama lain, belajar komunikasi yang baik. Serius dah, jangan tinggi ego terus. Belajar sama-sama dewasa. Satu lagi, jangan sampai hubungan kalian diatur sama sosmed,” ungkap akun @winternaaa dalam cuitannya.

Ini menunjukkan bahwa inti dari hubungan yang sehat bukan terletak pada siapa yang membayar atau siapa yang menjadi “pemberi” dalam hubungan, tetapi pada keseimbangan, komunikasi yang baik, dan kedewasaan dalam memahami satu sama lain. Jika sebuah hubungan terlalu terpengaruh oleh standar sosial media, maka ada kemungkinan besar hubungan tersebut menjadi tidak sehat dan penuh tekanan yang tidak perlu.
Di sisi lain, terdapat pula beberapa respon yang setuju dengan pendapat dari konten yang diunggah oleh akun @bithaselflove.
Seorang pengguna X, @rizkimeydina, ikut mengomentari dengan pernyataan.
“Biasanya sih yang ngamuk konten beginian itu cowok miskin. Sama halnya ada konten cowok yang membahas cewek jelek minggir, biasanya yang ngamuk ya cewek jelek, sesimpel itu aja sih,” respons akun @rizkimeydina menanggapi hal ini.

Komentar ini menunjukkan ada kecenderungan untuk menggeneralisasi, seolah-olah semua pria yang tidak setuju dengan konsep pria harus selalu membayar adalah “miskin”. Padahal, dalam realitanya, seseorang bisa saja menolak konsep tersebut bukan karena kondisi ekonomi atau penampilan mereka, tetapi karena memiliki pandangan yang berbeda tentang hubungan yang sehat dan adil.
Menariknya, akun @arkuyy juga memberikan perspektif unik dari sisi pria, yang melihat keberadaan influencer dengan pandangan seperti ini sebagai sesuatu yang tetap memiliki manfaat.
“As a man, I think kita tetap butuh kehadiran orang kayak si influencer ini, at least bisa jadi parameter bagi para cowok di luar sana. Kalo sosmed inceran lo follow influencer macem ini, yha lo jadi punya bahan untuk reconsidering,” komentar akun @arkuyy dalam unggahannya di X.

Ini menunjukkan bahwa standar yang dibentuk di media sosial, meskipun sering dianggap berlebihan, tetap bisa menjadi bahan refleksi bagi individu dalam memilih pasangan atau menentukan batasan dalam hubungan.
Tidak semua pria yang mengajak split bill berarti tidak bertanggung jawab atau tidak ingin membahagiakan pasangannya. Ada banyak alasan mengapa seseorang memilih untuk berbagi biaya, mulai dari kondisi finansial, pandangan tentang kesetaraan dalam hubungan, hingga kesepakatan pribadi antara pasangan. Namun, karena standar yang terbentuk di media sosial, pria yang tidak bisa memenuhi ekspektasi ini sering kali dianggap kurang layak sebagai pasangan.
Sebaliknya, ada juga orang yang memang nyaman dengan konsep “provider mindset”, sehingga laki-laki menjadi penanggung jawab utama dalam hal finansial. Hal ini sah-sah saja, asalkan didasarkan pada kesepakatan bersama, bukan karena tekanan sosial atau ekspektasi yang tidak realistis.
Namun, ketika standar media sosial dijadikan patokan utama dalam hubungan, dampaknya bisa lebih serius. Misalnya, baru-baru ini ada kasus seorang suami yang menceraikan istrinya karena sang istri terus mengeluh bahwa uang bulanan yang diberikan tidak cukup, sebab ia membandingkan dengan standar yang ia lihat di media sosial.
Di media sosial, sering kali kita melihat konten tentang suami yang memberikan uang belanja dalam jumlah besar, membelikan barang mewah, atau bahkan rutin mengajak istri liburan ke luar negeri. Konten semacam ini, meskipun tidak sepenuhnya salah, dapat menciptakan ekspektasi yang tidak realistis bagi pasangan lain. Dalam kasus ini, sang istri mungkin merasa kehidupannya kurang layak hanya karena ia melihat kehidupan pasangan lain yang tampak lebih “sempurna” di media sosial. Padahal, kondisi keuangan setiap pasangan berbeda, dan apa yang terlihat di media sosial belum tentu mencerminkan kenyataan sepenuhnya.
Perceraian ini menjadi bukti bahwa media sosial tidak hanya mempengaruhi cara orang memandang hubungan, tetapi juga dapat memicu ketidakpuasan dan konflik dalam rumah tangga. Jika seseorang lebih percaya pada standar yang dibentuk oleh konten viral dibandingkan realitas yang mereka jalani, maka hubungan yang seharusnya dibangun atas dasar kepercayaan dan komunikasi bisa dengan mudah runtuh.
Gambar kehidupan sempurna yang disajikan di media sosial—dengan segala kemewahan dan kesempurnaan—dapat memberi tekanan pada individu untuk memenuhi ekspektasi yang tidak sebanding dengan kenyataan. Ketika standar ini diterima tanpa pertimbangan yang matang, hubungan bisa menjadi lebih terfokus pada pencapaian luar daripada kebahagiaan dan keseimbangan dalam hubungan itu sendiri.
Pria dan wanita bisa saling membandingkan diri dengan pasangan atau influencer yang mereka lihat di dunia maya, bukannya membangun komunikasi dan kesepakatan yang jelas dalam kehidupan nyata. Ketika ekspektasi ini terlalu tinggi dan tidak realistis, bisa saja ada ketidakpuasan dan tekanan yang berujung pada keputusan yang merugikan, seperti perceraian atau konflik dalam hubungan.
Oleh karena itu, sangat penting untuk tidak membiarkan media sosial mendikte apa yang seharusnya terjadi dalam hubungan. Yang paling penting ialah bagaimana pasangan saling mendukung, menghargai, dan berkomunikasi untuk menciptakan kebahagiaan bersama, tanpa terjebak dalam standar-standar yang sering kali jauh dari kenyataan.
Penulis: Nova Lisa
Penyunting: Dyaa