Dari Iklan ke Dompet, Mengapa Kita Selalu Tergoda Berbelanja?

Dari Iklan ke Dompet, Mengapa Kita Selalu Tergoda Berbelanja?

Sharing is Caring
       
  

Pernahkah kita berhenti sejenak dan bertanya, mengapa iklan yang kita lihat di media sosial begitu menggoda hingga sering kali membuat kita membeli barang yang sebenarnya tidak dibutuhkan? Kemajuan teknologi dan globalisasi di era modern memberikan keuntungan besar bagi perusahaan. Salah satunya adalah kemudahan memengaruhi konsumen melalui iklan, terutama iklan yang banyak bertebaran di berbagai media sosial pada situs maupun aplikasi yang sering kita gunakan. Dengan perkembangan teknologi yang semakin maju, perusahaan memanfaatkan iklan untuk menarik konsumen dalam berbagai bentuk, seperti iklan komersial, nonkomersial, hingga promosi di media cetak yang kini beradaptasi di platform digital seperti Instagram, X, dan Shopee.

Selain sebagai alat pemasaran, iklan merupakan seni yang menggabungkan kreativitas dan strategi untuk memengaruhi perilaku konsumen. Iklan sering ditemukan di berbagai platform digital, salah satunya Shopee, aplikasi belanja online populer saat ini. Shopee menampilkan iklan berdasarkan hasil pencarian dan preferensi pengguna. Strategi ini sangat efektif, sebab iklan yang relevan mampu memicu pengguna untuk terus berbelanja tanpa henti. Tidak hanya itu, platform-platform belanja serupa juga memanfaatkan algoritma untuk menampilkan produk-produk yang seolah-olah “dibutuhkan” oleh konsumen.

Masyarakat modern sangat bergantung pada gawai untuk berbagai keperluan, baik komunikasi, pembelajaran, maupun hiburan. Iklan pun hadir menyisip di tengah aktivitas ini, memanfaatkan citra merek yang sesuai dengan gaya hidup konsumen untuk membentuk pola konsumsi. Ketika iklan menampilkan produk yang sesuai dengan preferensi konsumen, peluang pembelian menjadi lebih besar. Misalnya, promosi produk dengan diskon terbatas menggunakan warna dan desain yang mencolok sering kali menimbulkan rasa urgensi yang mendorong konsumen membeli tanpa banyak pertimbangan. Sebagai contoh, penggunaan warna merah dalam label diskon atau promosi menciptakan kesan mendesak dan penting. Warna ini secara psikologis memicu emosi kuat seperti kegembiraan dan rasa takut ketinggalan (fear of missing out/FOMO), sehingga konsumen merasa perlu segera mengambil tindakan.

Fenomena ini semakin mengkhawatirkan ketika iklan menonjolkan gaya hidup mewah. Banyak orang merasa terdorong untuk membeli barang mahal demi meningkatkan status sosial, meskipun barang tersebut sebenarnya tidak dibutuhkan. Pola ini tidak hanya menciptakan budaya konsumsi yang berlebihan, tetapi juga memengaruhi cara pandang individu terhadap kebahagiaan. Mengutip data dari Tempo.com, Shopee mencatat 277,5 juta kunjungan sepanjang Mei 2024, menjadikannya e-commerce dengan angka kunjungan tertinggi di Indonesia. Data ini menunjukkan betapa besar pengaruh iklan dalam membentuk kebiasaan belanja masyarakat di platform belanja online.

Tidak hanya melalui platform belanja, pengaruh iklan juga diperkuat oleh strategi psikologis yang memanfaatkan aspek emosional konsumen. Teknik-teknik seperti penggunaan warna mencolok, ulasan positif, dan diskon terbatas adalah cara umum yang digunakan untuk menarik perhatian. Sebagai contoh, warna merah sering digunakan untuk menciptakan rasa urgensi dan kegembiraan. Warna ini memicu respons psikologis konsumen, membuat mereka merasa seolah-olah akan kehilangan kesempatan besar jika tidak segera membeli. Dengan cara ini, konsumen sering kali mengabaikan kebutuhan nyata mereka.

Selain itu, peran influencer dan selebriti sangat dominan dalam mempromosikan produk. Mereka sering kali menjadi panutan bagi pengikutnya, terutama di media sosial. Ketika seorang selebriti mempromosikan sebuah produk kecantikan atau fashion, banyak konsumen yang terdorong untuk membeli produk serupa. Toko-toko online pun berlomba membuat produk yang mirip untuk memenuhi permintaan pasar yang dipengaruhi oleh tren ini.

Budaya konsumtif yang dipicu oleh iklan tidak hanya merusak diri, tetapi juga lingkungan. Konsumen yang terus-menerus membeli barang tanpa pertimbangan matang dapat terjebak dalam siklus pembelian yang tidak berujung. Oleh karena itu, penting bagi masyarakat untuk menyadari kekuatan iklan dan dampaknya terhadap perilaku konsumsi. Langkah awal yang dapat dilakukan adalah meningkatkan literasi media agar konsumen lebih kritis dalam menilai iklan.

Pengiklan juga memiliki tanggung jawab besar dalam menciptakan ekosistem yang lebih sehat. Mereka perlu mempertimbangkan dampak sosial dari strategi pemasaran yang digunakan. Dengan mengurangi frekuensi iklan yang manipulatif, terutama di aplikasi belanja online, masyarakat dapat lebih fokus pada kebutuhan nyata daripada keinginan semata.

Hubungan antara iklan dan pola konsumsi mencerminkan dinamika yang kompleks antara kebutuhan, keinginan, dan pengaruh budaya. Sebagai konsumen cerdas, kita harus mampu memilah mana yang benar-benar relevan dengan kebutuhan dan mana yang hanya permainan emosional. Dengan memahami teknik periklanan, kita dapat mengendalikan keputusan belanja secara bijaksana, mendukung gaya hidup berkelanjutan, dan menciptakan ekosistem konsumsi yang lebih sehat serta penuh kesadaran.

Referensi:

Jejak Persaingan Shopee dengan Tokopedia, Siapa Penguasa Pasar E-Commerce RI Saat Ini?. (2024, 30 Agustus). Tempo.com. https://www.tempo.co/ekonomi/jejak-persaingan-shopee-dengan-tokopedia-siapa-penguasa-pasar-e-commerce-ri-saat-ini–14288

StikEarn.com. Penerapan Psikologi Marketing untuk Memikat Konsumen. 8 Desember, 2024. https://stickearn.com/insights/blog/psikologi-marketing

Izzah, N, S. Menelisik Hubungan Antara Iklan dan Kecenderungan Konsumsi di Masyarakat Modern. (2024, 6 Oktober). Kumparan.com. https://kumparan.com/user-17052022010416/menelisik-hubungan-antara-iklan-dan-kecenderungan-konsumsi-di-masyarakat-modern-23f2IbAjVm1

Penulis: Asil

Penyunting: Fatimah

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *