Setiap kali terjadi pergantian Menteri Pendidikan di Indonesia, kurikulum seolah ikut berganti. Fenomena ganti menteri, ganti kurikulum ini telah menjadi tradisi yang mengakar dalam sistem pendidikan di Indonesia. Sebagai warga negara yang peduli dengan masa depan pendidikan, saya memandang pola ini dengan keprihatinan mendalam.
Perubahan kurikulum yang terlalu sering mengganggu konsistensi penerapan kebijakan pendidikan. Guru, siswa, dan orang tua harus selalu beradaptasi dengan perubahan, sementara evaluasi terhadap efektivitas kurikulum sebelumnya belum dilakukan secara menyeluruh. Penelitian Tilaar (2015) mencatat sejak kemerdekaan, Indonesia telah mengalami sedikitnya sepuluh kali perubahan kurikulum sejak kemerdekaan. Pergantian menteri pendidikan diiringi perubahan kurikulum dengan perubahan kebijakan kurikulum, meskipun implementasi dari kurikulum sebelumnya belum sepenuhnya matang
Guru, sebagai ujung tombak pendidikan, harus terus dituntut untuk menyesuaikan diri dengan perubahan. Namun, pelatihan yang diberikan sering kali tidak memadai, sehingga penerapan kurikulum baru tidak optimal. Survei dari Pusat Penelitian Kebijakan Pendidikan dan Kebudayaan (2019) mengungkapkan bahwa 67% guru mengalami kesulitan beradaptasi dengan perubahan kurikulum
yang muncul terlalu cepat, dan 72% merasa pelatihan yang diberikan tidak cukup memadai.
Pergantian menteri kerap memutus kesinambungan program pendidikan, meskipun beberapa program memiliki potensi keberhasilan jangka panjang. Studi longitudinal oleh Universitas Pendidikan Indonesia (2018) mendapatkan dari 15 program pendidikan unggulan pada periode 2004-2018, hanya 4 program
yang bertahan melewati pergantian menteri.
Perubahan kurikulum juga memiliki implikasi biaya yang besar, mulai dari penyusunan buku
teks baru, pelatihan guru, hingga penyesuaian infrastruktur pendukung. Laporan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas, 2020), mencatat bahwa setiap pergantian kurikulum nasional memerlukan anggaran sekitar Rp 2,1 triliun hanya untuk implementasi awal, belum termasuk biaya pelatihan berkelanjutan dan evaluasi.
Pendidikan seharusnya menjadi fondasi kokoh kemajuan bangsa. Namun, ketika kebijakan
pendidikan berubah mengikuti dinamika politik dengan pergantian pejabat, fondasi tersebut justru akan menjadi rapuh. Guru sebagai pahlawan tanpa tanda jasa yang berdiri di garis depan pendidikan harus beradaptasi dengan perubahan yang kadang tidak disertai dengan pelatihan memadai. Mereka dipaksa untuk menguasai metode baru, format penilaian baru, dan pendekatan pedagogis baru dalam waktu singkat. Bagaimana mereka dapat menerapkan kurikulum dengan optimal jika pemahaman terhadap esistensinya belum sepenuhnya terbentuk?
Siswa sebagai subjek utama pendidikan tak luput menjadi kelinci percobaan. Mereka bisa masuk sekolah dengan satu kurikulum dan lulus dengan kurikulum yang berbeda. Akibatnya, kesinambungan pembelajaran terganggu, dan pemahaman konsep dasar menjadi korban. Tak heran bila banyak siswa merasa bingung dan tertekan menghadapi sistem pendidikan yang terus berubah.
Ironisnya, dana yang seharusnya digunakan untuk memperbaiki infrastruktur sekolah, meningkatkan kesejahteraan guru, atau memperluas program beasiswa justru tersedot untuk biaya perubahan kurikulum, seperti mencetak buku baru, menyusun pedoman baru, dan mengadakan pelatihan baru. Biaya sosial dan ekonomi dari ketidakstabilan ini sungguh tidak sebanding dengan manfaat perubahan yang belum terbukti.
Yang lebih memprihatinkan, pergantian kurikulum sering kali tidak didasarkan pada evaluasi yang komprehensif. Alih-alih memperbaiki dan mempertahankan elemen yang baik, perubahan lebih sering bersifat radikal untuk menghapus warisan menteri sebelumnya. Hal ini mencerminkan ego sektoral yang menonjol dibandingkan visi pendidikan jangka panjang.
Tentu, kurikulum memang harus adaptif terhadap perkembangan zaman dan kebutuhan masyarakat. Namun, adaptasi bukan berarti pergantian total. Diperlukan kerangka pendidikan nasional yang konsisten sebagai pedoman, terlepas dari siapa yang menjabat sebagai menteri. Perubahan sebaiknya bersifat evolusioner, bukan revolusioner, dengan melibatkan suara para praktisi pendidikan yang memahami realitas di lapangan.
Beberapa ahli, salah satunya ialah Darmaningtyas (2017), menegaskan terkait pembaruan kurikulum memang penting. Namun, prosesnya harus mempertimbangkan kondisi di lapangan dan melibatkan semua pemangku kepentingan pendidikan. Sebagai bangsa yang menjunjung tinggi pendidikan, sudah saatnya kita menuntut kebijakan pendidikan yang berkelanjutan dan bebas dari kepentingan politik jangka pendek. Kita butuh sistem yang mampu menjamin kesinambungan program-program pendidikan berkualitas, meskipun terjadi pergantian kepemimpinan.
Fenomena ganti menteri, ganti kurikulum memang telah menjadi kebiasaan. Namun, bukan berarti kita harus menerimanya begitu saja. Mari kita dorong perubahan paradigma dalam pengelolaan pendidikan nasional, demi masa depan generasi muda dan kemajuan bangsa Indonesia.
Penulis: Rika
Penyunting: Asil