
25 tahun lalu, tepatnya tanggal 23 Mei 1997, Banjarmasin mencatatkan sejarah kelam yang dikenal sebagai tragedi Jumat Membara atau Jumat Kelabu. Mengutip dari Tirto.id, menurut data hasil investigasi Tim Pencari Fakta Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), tragedi Jumat Kelabu ini telah memakan korban jiwa sebanyak 123 orang tewas, 118 orang luka-luka, dan 179 orang hilang. Sedangkan menurut Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), ada 199 orang yang hilang (2 berhasil ditemukan).
Ketertutupan pemerintah pada masa rezim Orde Baru mengenai penyebab sesungguhnya dari tragedi yang terindikasi terjadinya pelanggaran HAM ini akhirnya memunculkan berbagai macam perspektif dan persepsi dari berbagai kalangan. Penyebab paling umum dan paling banyak diketahui masyarakat Banjarmasin adalah tragedi tersebut diprakarsai karena simpatisan kampanye Golkar yang memaksa untuk melewati Jl. Pangeran Samudera yang diketahui sedang ada ibadah salat Jumat di Masjid Noor dan jemaah meluber hingga ke jalan.
Akan tetapi, Muhammad Habibi Darma Saputra dalam penelitiannya, “Peristiwa Kerusuhan Banjarmasin 23 Mei 1997” (2014) mengungkapkan bahwa setidaknya ada tiga versi yang menjadi penyebab tragedi ini. Versi pertama menyebutkan bahwa bentrokan tersebut terjadi di luar dugaan jemaah salat Jumat Masjid Noor. Pada putaran terakhir masa kampanye Pemilu 1997 dan merupakan hari kampanye Golkar, jemaah memberikan teguran pada para anggota satuan tugas (satgas) Golkar yang sebagian besar adalah preman. Ternyata mereka membawa senjata tajam dan menyerang jemaah yang mulai berlarian ke perkampungan di sekitar masjid.
Versi kedua menyebutkan bahwa bentrokan terjadi karena tiga pengendara motor yang merupakan anggota satgas babak belur dipukuli oleh jemaah. Ketiga pengendara motor tersebut kemudian pergi ke kantor DPD Golkar Kalsel untuk mengadu dan menyerang balik dengan rombongan yang lebih banyak. Sedangkan, versi ketiga menyebutkan bahwa bentrokan terjadi selain karena tiga pengendara sepeda motor tadi, di sekitar Masjid Noor juga sudah banyak satgas Golkar yang menyaksikan teman mereka dipukuli. Mereka pun ikut membantu, tetapi satgas dan simpatisan yang berjumlah delapan orang itu terdesak oleh massa yang makin bertambah.
Versi lain juga menyebutkan bahwa ada selebaran hitam tersebar dan mengklaim dikirim dari Bangkalan, Madura, Jawa Timur yang bertanggal 21 Februari 1997. Isi selebaran tersebut memprovokasi warga untuk melakukan kerusuhan pada 28-30 Mei 1997. Selain itu, mengutip Koranbanjar.net, salah satu dosen Program Studi (Prodi) Ilmu Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Lambung Mangkurat (ULM) Pathurrahman Kurnain turut mengemukakan pendapatnya tentang penyebab tragedi Jumat Kelabu. Dalam pandangannya, akar permasalahan sebenarnya adalah kesenjangan atau kecemburuan ekonomi antara masyarakat kecil dengan masyarakat kelas atas dan para kaum kapitalis. Hal ini disebabkan pada masa itu pemerintah memberi izin pembangunan Mitra Plaza yang tepat bersebelahan dengan pasar tradisional. Masyarakat menganggap bahwa pemerintah tidak berpihak pada rakyat kecil. Seharusnya kebijakan pembangunan Mitra Plaza jauh dari pusat ekonomi menengah ke bawah. Maka tak heran pula jika jemaah Masjid Noor kebanyakan dari pedagang-pedagang pasar tersebut, sehingga tragedi Jumat Kelabu 1997 itu merupakan manifestasi dari kekecewaan dan frustasi para pedagang kecil menengah terhadap pemerintah dan para kaum kapitalis.

Maka berdasarkan pada pendapat Pathurrahman, tragedi Jumat Kelabu bukan hanya diakibatkan oleh kemarahan massa karena kampanye dari simpatisan dan satgas Golkar yang tidak menghormati umat muslim yang sedang melakukan ibadah salat Jumat. Akan tetapi, juga karena pada masa itu bertepatan dengan terjadinya krisis moneter di Indonesia. Alhasil, ketika bentrokan terjadi, tidak sedikit massa yang memanfaatkan kerusuhan untuk melakukan penjarahan pada beberapa toko dan pusat perbelanjaan.
Jumat Kelabu 1997 dengan dampak yang ditimbulkannya, peristiwa tersebut akhirnya menjadi salah satu tragedi yang kelam dan terburuk menjelang akhir masa Orde Baru. Tragedi itu telah meninggalkan luka mendalam dan pengalaman traumatis bagi masyarakat Banjarmasin karena banyaknya korban yang berjatuhan seperti korban tewas dan hilang, juga banyaknya bangunan serta fasilitas umum pada masa itu yang hancur serta terbakar saat bentrokan terjadi. Meski begitu, tidak ada laporan yang akurasinya dapat dipercaya mengenai apa yang sebenarnya terjadi. Pemerintah juga enggan bersuara tentang tragedi ini. Sampai saat ini pun pemerintah tidak ada melakukan tindakan hukum terhadap pihak yang mesti bertanggungjawab atas tragedi Jumat Kelabu ini.
Penulis: Ummukul Sumnoorhani dan Lini Deviyanti (Mahasiswi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia)