Judul: Rangga dan Cinta
Sutradara: Riri Riza
Produser: Mira Lesmana, Nicholas Saputra, Toto Prasetyanto
Penulis: Mira Lesmana, Titien Wattimena
Pemeran: El Putra Sarira, Leya Princy, Jasmine Nadya, Katyana Mawira, Kyandra Sembel, Daniella Tumiwa
Musik: Melly Goeslaw, Anto Hoed
Produksi: Miles Films, Surya Citra Media Trinity Entertainment
Durasi: 119 menit (1 jam 59 menit)
Tanggal Rilis: 2 Oktober 2025 (Indonesia)
World Premiere: 18 September 2025 (Busan International Film Festival)
Rating: TV-14
Negara: Indonesia, Korea Selatan, Malaysia
Film “Rangga dan Cinta” yang tayang pada 2 Oktober 2025 merupakan rebirth atau kelahiran kembali dari film legendaris “Ada Apa Dengan Cinta?” (AADC) yang dirilis pada tahun 2002. Berbeda dari remake biasa yang sekadar menceritakan ulang kisah yang sama, rebirth ini menghadirkan interpretasi ulang dengan pendekatan yang sangat berbeda tapi tetap menghormati esensi dan jiwa film originalnya.
Perbedaan paling mencolok antara kedua film ini terletak pada format penyajiannya. Film AADC tahun 2002 adalah drama romantis konvensional dengan durasi 112 menit yang menyajikan cerita melalui dialog-dialog natural dan realistis. Sementara itu, “Rangga dan Cinta” menghadirkan sesuatu yang benar-benar baru dalam sinema Indonesia dengan mengusung konsep musikal berdurasi 119 menit. Dalam film ini, puisi dan lagu menjadi medium utama untuk menyampaikan narasi, bukan sekadar soundtrack pendamping seperti di film original. Para pemain menyanyikan sendiri lagu-lagu legendaris ciptaan Melly Goeslaw dan Anto Hoed yang telah diaransemen ulang, menjadikan musik sebagai bagian integral dari cerita layaknya teater musikal.
Film original tahun 2002 dibintangi oleh Dian Sastrowardoyo sebagai Cinta dan Nicholas Saputra sebagai Rangga, bersama dengan Ladya Cheryl, Sissy Priscillia, Adinia Wirasti, dan Titi Kamal sebagai geng sahabat Cinta. Film ini disutradarai oleh Rudi Soedjarwo dengan produser Mira Lesmana dan skenario karya Jujur Prananto. Sementara itu, “Rangga dan Cinta” menghadirkan wajah-wajah baru hasil audisi terbuka di akhir 2024. El Putra Sarira dan Leya Princy (putri Ferry Maryadi) dipilih untuk memerankan Rangga dan Cinta dalam debut film layar lebar mereka. Didampingi oleh Jasmine Nadya, Katyana Mawira, Kyandra Sembel, dan Daniella Tumiwa. Yang menarik, Nicholas Saputra ketika dulu memerankan Rangga, kini beralih peran menjadi co-produser bersama Mira Lesmana dan Toto Prasetyanto. Sutradara film ini dipercayakan kepada Riri Riza, dengan skenario ditulis ulang oleh Mira Lesmana dan Titien Wattimena.
Pendekatan musik dalam kedua film juga sangat berbeda. Dalam AADC tahun 2002, lagu-lagu ikonik seperti “Ada Apa Dengan Cinta?”, “Bimbang”, dan ”Suara Hati Seorang Kekasih” dinyanyikan oleh penyanyi asli seperti Melly Goeslaw dan Krisdayanti, berfungsi sebagai soundtrack pendamping yang memperkuat suasana. Namun, dalam “Rangga dan Cinta”, lagu-lagu yang sama dinyanyikan langsung oleh para pemeran sebagai bagian dari narasi musikal. Sebagai contoh, ”Bimbang” dinyanyikan ulang oleh Leya Princy dalam adegan yang menjadi bagian dari alur cerita. Film ini juga menampilkan theme song baru berjudul ”Rangga & Cinta” yang dinyanyikan oleh Eva Celia dan Bilal Indrajaya. Dengan pendekatan ini, musik bukan lagi sekadar latar belakang emosional, melainkan bahasa universal yang digunakan karakter untuk mengekspresikan perasaan mereka.
Meski diproduksi pada tahun yang berbeda, keputusan setting waktu kedua film ini cukup unik. Film AADC tahun 2002 diproduksi dan berlatar pada tahun yang sama, menangkap secara autentik kehidupan remaja Jakarta di awal milenium. Sementara itu, ”Rangga dan Cinta” yang diproduksi tahun 2025 justru sengaja mengambil setting tahun 2001 untuk menciptakan nuansa nostalgia. Film ini merekonstruksi detail-detail khas awal 2000-an dengan sangat teliti, mulai dari oplet biru Jakarta, musik pop era tersebut, gaya berpakaian remaja, hingga teknologi dan gadget zaman old. Keputusan ini membuat film 2025 terasa seperti kapsul waktu yang membawa penonton kembali ke masa lalu, sambil tetap menggunakan teknologi sinematografi modern untuk menghasilkan visual yang memukau.
Kedua film memiliki kerangka cerita yang serupa, mengisahkan Cinta sebagai gadis populer, ceria, dan pintar yang bertemu dengan Rangga, cowok pendiam dan misterius yang menyukai puisi. Pertemuan pertama mereka terjadi di lomba puisi, dan dari situ berkembang kisah cinta yang dibayangi oleh konflik antara persahabatan dan cinta pertama, serta masalah besar yang menimpa salah satu sahabat Cinta. Namun, cara penyampaian cerita sangat berbeda. Film AADC menggunakan pendekatan realistis dengan dialog natural yang mengalir seperti percakapan remaja sehari-hari, dan puisi hanya muncul di beberapa adegan penting. Sebaliknya, ”Rangga dan Cinta” menggunakan pendekatan teatrikal dan ekspresif melalui nomor-nomor musikal. Puisi menjadi bahasa utama komunikasi antar karakter, dan adegan-adegan menyanyi serta menari, memperkaya alur cerita dengan ekspresi emosional yang lebih intens dan stylized.
Film AADC tahun 2002 ditujukan untuk generasi Y atau Milenial yang pada saat itu sedang mengalami masa remaja. Film ini fokus pada pasar domestik Indonesia dan baru dikenal di Asia Tenggara setelah sukses di tanah air. Tujuannya sederhana, yaitu membuat film remaja yang relatable dan mencerminkan realitas kehidupan anak muda Jakarta. Sementara itu, ”Rangga dan Cinta” dirancang untuk dua generasi sekaligus nostalgia bagi Milenial yang menonton AADC dulu, serta pengalaman segar bagi Gen Z. Film ini memiliki ambisi internasional yang lebih besar sejak awal, terbukti dengan world premiere di Busan International Film Festival ke-30 pada 18 September 2025 dan screening di Hawaii International Film Festival ke-45, menjadikannya penayangan pertama di Amerika Utara. Strategi distribusi internasional ini menunjukkan bahwa film 2025 tidak hanya ingin mengulang kesuksesan domestik, tetapi juga memperkenalkan cerita Indonesia ke panggung dunia.
Proses produksi kedua film mencerminkan perubahan zaman. Film AADC tahun 2002 diproduksi dengan cara konvensional menggunakan teknologi kamera era 2000-an, baik analog maupun digital generasi awal. Proses casting dilakukan secara tertutup dan fenomena film baru terjadi setelah perilisan. Di sisi lain, ”Rangga dan Cinta” memanfaatkan era digital dan media sosial secara maksimal. Audisi terbuka massal dilakukan di akhir 2024 dan proses produksinya dipublikasikan secara transparan, menciptakan buzz sejak pengumuman casting. Teknologi kamera digital modern menghasilkan resolusi tinggi, tetapi dengan color grading khusus untuk menciptakan kesan vintage yang sesuai dengan setting tahun 2001. Editing yang lebih canggih memungkinkan koreografi musikal yang kompleks dan visual effects yang mendukung adegan-adegan musikal tanpa kehilangan esensi cerita.
Meski berbagi DNA yang sama, filosofi kedua film memiliki nuansa berbeda. Film AADC tahun 2002 fokus pada tema menemukan cinta pertama dan dilema remaja yang harus memilih antara persahabatan dan cinta romantis. Film ini menyajikan realisme kehidupan remaja dengan segala kegundahannya, di mana puisi menjadi cara Rangga mengekspresikan perasaan yang sulit diucapkan. Sementara itu, “Rangga dan Cinta” mengangkat tema yang lebih universal dan inklusif tentang merayakan berbagai bentuk cinta bukan hanya cinta romantis, tetapi juga cinta pada keluarga, sahabat, dan diri sendiri. Film ini mengeksplorasi proses pendewasaan emosional dengan lebih dalam, menekankan nilai-nilai kejujuran dan keberanian mengakui perasaan. Musik dan puisi dalam film ini berfungsi sebagai bahasa universal yang melampaui kata-kata, menjadikan pesan film lebih dapat diterima oleh berbagai kalangan dan budaya.
Istilah ”rebirth” atau kelahiran kembali dipilih dengan sengaja untuk membedakannya dari sekadar remake. Remake biasanya menceritakan ulang kisah yang sama dengan shot-by-shot hampir identik, hanya memperbaharui aktor dan teknologi. Sementara rebirth adalah interpretasi ulang dengan pendekatan yang benar-benar berbeda. Esensi dan jiwa cerita tetap sama yaitu kisah cinta remaja yang penuh dengan emosi, keraguan, dan penemuan diri tetapi format serta eksekusinya sangat berbeda dengan pendekatan musikal yang belum pernah ada di film original. Seperti yang disampaikan sutradara Riri Riza, “Rangga dan Cinta bukan sekadar mengulang AADC, tapi melahirkan kembali semangat dan emosi film itu dalam bahasa sinematik yang baru.” Film ini berarti menghormati warisan AADC sambil menciptakan sesuatu yang segar dan relevan untuk generasi baru.
“Rangga dan Cinta” dan “Ada Apa Dengan Cinta?” adalah dua film yang terhubung oleh satu jiwa namun berbeda dalam eksekusi. Film original tahun 2002 adalah tonggak penting dalam sejarah sinema Indonesia yang membuktikan bahwa film remaja lokal bisa berkualitas tinggi dan relevan. Sedangkan film rebirth tahun 2025 adalah upaya berani untuk tidak hanya mengenang kejayaan masa lalu, tetapi juga menciptakan pengalaman sinematik baru yang lebih kaya dan berlapis. Dengan format musikal, pemeran baru, dan ambisi internasional, ”Rangga dan Cinta” menunjukkan bahwa cerita yang baik bisa terus hidup dan beradaptasi dengan zamannya. Kedua film ini, meski berbeda, tetapi sama-sama merayakan kekuatan cinta dan puisi dalam kehidupan remaja, membuktikan bahwa tema universal seperti cinta pertama akan selalu relevan, apa pun generasinya.
Penulis: Rika
Penyunting: Dyaa
