Laut Bercerita: Tentang Para Aktivis yang Dihilangkan, yang Kembali, dan yang Tak Kembali

Sharing is Caring
       
  

Laut Bercerita merupakan sebuah novel karya Leila Salikha Chudori yang terbit pada 2017. Novel ini mengangkat tema persahabatan, perjuangan, penghianatan, kekeluargaan, rasa kehilangan, dan cinta. Berlatar waktu tahun 90-an sampai 2000-an, Buku setebal 379 halaman ini mengajak pembaca menembus ruang dan waktu untuk mengingat kembali peristiwa-peristiwa era reformasi 1998 yang beringas dan kejam pada mereka yang membela rakyat. 

Dari Gramedia.com, Leila menyatakan bahwa cerita dalam novel ini ditulis berdasarkan fakta dan ia telah melakukan wawancara secara langsung terlebih dahulu pada korban yang berhasil kembali atau kerabat korban. Leila menghabiskan hampir 5 tahun sebelum akhirnya novel ini selesai ditulis. Namun, Leila juga menegaskan bahwa novel ini hanyalah historical fiction. 

Laut Bercerita menceritakan tentang para aktivis yang mengalami penyiksaan dan sengaja “dihilangkan” secara paksa. Buku ini bercerita dari dua bagian. Pertama, dari sudut pandang Biru Laut, atau yang akrab dipanggil Laut, seorang aktivis mahasiswa yang bersama teman-teman sesama aktivisnya menyusun strategi menentang rezim, menjadi buronan, hidup bersembunyi dalam pelarian, hingga akhirnya diculik dan disiksa oleh pasukan rahasia. Bagian kedua adalah sudut pandang dari adik Laut, Asmara Jati. Bagian ini merupakan cerita dari keluarga korban yang masih memperjuangkan nasib kerabat mereka yang tak kunjung kembali. Juga tentang perasaan para korban yang selamat, tetapi masih sulit bangkit dan mengalami trauma berat. 

Buku ini ditulis untuk terus mengingat para aktivis yang diculik, baik yang kembali, maupun tak kembali, dan keluarga korban yang masih berjuang dan menuntut jawab atas kasus ini. Tema yang kelam namun dibungkus dengan sangat indah, Leila mampu menghanyutkan pembaca untuk terus membalik halaman demi halaman. Kental akan sejarah dan tragedi dibalut dengan drama, memberi perasaan ngeri dan pilu bagi pembaca. 

Sinopsis

“Aku melayang-layang ke dasar lautan.” 

“Bapak, Ibu, Asmara, Anjani, dan kawan-kawan…dengarkan ceritaku…”

Laut mulai bercerita tentang hal-hal yang dialaminya selama 3 bulan disekap dan akhirnya menemui kematian. 

Kisah dimulai di tahun 1991, Seyegan, Yogyakarta. Seyegan adalah markas Wirasena, organisasi mahasiswa yang aktif melakukan kegiatan mengkritisi pemerintah era itu. Laut bersama sahabat sesama aktivisnya, Alex, Daniel, Sunu, Kinan, Dana, Julius, Naratama, dan Gusti gencar melakukan gerakan untuk terus berjuang meruntuhkan ketidakadilan yang dialami rakyat. Peristiwa Blangguan merupakan kali pertama Laut dan rekannya mengalami penyiksaan. Mereka dipukuli, diinjak, dan disetrum. Blanguan adalah aksi menanam jagung kembali untuk membela para petani jagung yang tanahnya dirampas pemerintah. Diantara tragedi yang terjadi, Laut menyelipkan cerita yang manis dan hangat tentang bagaimana harmonisnya hubungan keluarga, kekasih yang dicintainya, dan sahabat-sahabat yang ia cintai. 

“DPRD atau DPR selama ini adalah septic tank, tempat penampungan belaka. Negara ini sama sekali tidak mengenal empat pilar. Kami hanya mengenal satu pilar kokoh yang berkuasa: presiden.” — Laut Bercerita. 

Aksi gerakan Wirasena terlalu sering terendus oleh para intel, misalnya peristiwa Blangguan, demo di Surabaya, dan aktivitas seperti bedah buku Pramoedya Ananta (saat itu buku-buku ini dilarang beredar) diketahui oleh para intel dengan sangat cepat. Hal ini tentu membuat Laut dan yang lainnya telah menerka adanya pengkhianat diantara mereka. Di akhir cerita Laut, akhirnya terkuak siapa pengkhianat itu yang tak akan disangka oleh siapapun. 

Maret 1998, para aktivis Wirasena satu per satu akhirnya tertangkap setelah dinyatakan buron pada 1996. Mereka diinterogasi dengan cara yang tidak manusiawi, disiksa, diinjak, dipukul, dan perlakuan lainnya yang tidak terbayang oleh hati nurani. Setelah hampir 3 bulan disekap, Daniel, Alex, Coki, dan 7 orang lainnya dikembalikan ke keluarga masing-masing dengan syarat mereka harus tutup mulut seumur hidup mereka. Namun, Laut, Sunu, Kinan, Sang penyair, dan beberapa lainnya hilang tak diketahui jejaknya. Mereka yang selamat tentu tidak diam saja, mereka bersuara tentang kekejaman yang mereka alami. Hingga akhirnya rezim runtuh pada Mei 1998.

Berlanjut ke cerita dari Asmara, sudut pandang para keluarga korban. Asmara dan keluarga korban yang ditinggal oleh mereka yang hilang masih terus berjuang mencari jejak para aktivis itu. Entah itu masih disekap atau sudah menjadi mayat dan kuburan, mereka tak peduli. Mereka menuntut pemerintah untuk segera mengusut sampai tuntas. Duka kehilangan orang tercinta membuat mereka hidup dalam penyangkalan. Keluarga para aktivis masih berharap kakak, anak, kekasih mereka tiba-tiba muncul melepas rindu bersama. 

Cerita dikisahkan dari dua sudut pandang dan waktu yang berbeda sehingga pembaca dapat bersimpati dan merasakan posisi berbagai pihak yang terlibat. Alur campuran yang maju-mundur mendramatisasi setiap kali berganti adegan. Novel ini juga memuat syair-syair perjuangan seperti “Sajak Seonggok Jagung” milik W.S. Rendra sehingga memperkaya pengetahuan pembaca. Selain itu, fakta tak tertulis yang tak akan kita temukan di buku sejarah atau PKN sekolah dipaparkan secara gamblang di novel ini. Ada beberapa ejaan yang masih salah dalam novel ini. Selain itu, terkadang penggunaan bahasa jawa yang lumayan sering muncul akan sulit dipahami oleh orang di luar jawa. 

Novel ini cocok dibaca oleh mahasiswa, organisasi kampus, dan mereka yang haus akan sejarah. Sedih, pilu, dan marah, itulah yang dirasakan saat membaca novel ini. Kekejaman rezim orde baru itu benar adanya. Reformasi 1998 yang menjadi robohnya rezim Soeharto yang entah sudah menghilangkan berapa banyak aktivis itu nyata. Sejarah ditulis oleh pemenang. Namun, Laut Bercerita adalah tulisan yang ditulis oleh mereka yang berputus asa dan menjadi bagian dari sejarah yang dihilangkan. 

Penulis: Lia

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *