Garis Waktu

Sharing is Caring
       
  
Foto: pixabay.com

Sekecil apapun usaha yang kita lakukan, pasti akan membuahkan hasil yang tak terduga.

Begitulah kiranya pernyataan yang menampar kesadaranku pada acara seminar program studi yang diadakan rutin setiap tahun. Barangkali ini sudah kesekian kalinya aku tak pernah bergerak untuk mewujudkan mimpi dan potensi yang hanya mengumpul di kepala. Kepekaanku masih sebatas keingintahuan, bukan bertindak untuk terjun ke masyarakat.

Sebagai mahasiswa semester lima yang sudah sibuk dengan tugas dan diskusi rapat yang tiada habisnya, aku sudah banyak melewatkan waktu untuk lebih memahami diri sendiri. Terlebih, setiap hari hanya berbicara dan berhadapan dengan layar monitor. Tak ada yang mengesankan, selain tertatih-tatih mengejar tugas. Belum lagi, baru-baru ini aku ditunjuk sebagai Ketua Pelaksana  di Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) yang kuikuti. Semua berkecamuk memutari isi kepala, bahkan masih ditambah dengan keharusan mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari. Bukan hal mudah, menjadi mahasiswa yang nekat kuliah dengan uang tabungan sendiri dan hasil bekerja sebagai ojek online. Di mana tanpa sepersen pun dibantu ayahku, yang kini sibuk dengan keluarga barunya. 

Aku telah menginjakkan kaki di semester lima dan semakin merasakan kesulitan ekonomi. Terlebih dampak pandemi yang tentu saja memangkas tabunganku secara signifikan. Mulai dari membayar angsuran rumah, tagihan listrik, dan kebutuhan lain yang sudah menjadi kewajibanku tanpa ada tawar-menawar lagi. Sebab semenjak ayahku pergi meninggalkan rumah, aku hanya tinggal berdua bersama ibu. Sehari-hari, ibuku menjaga warung kecil di depan rumah yang menjual kebutuhan sehari-hari seperti sampo, sabun, dan lainnya.

“Entah bagaimana lagi ke depannya, aku hanya berharap tetap bisa menyelesaikan kuliahku,” gumamku, lalu menghela napas panjang.

Di kafe yang tak terlalu jauh dari rumah, aku duduk menunggu kedatangan Ahmad, sahabatku yang sedang dalam perjalanan. Ditemani remang-remang lampu, aku memikirkan bagaimana nanti jika tak sanggup membayar UKT di semester mendatang. Bagaimana kalau semester depan aku terpaksa cuti. Ketakutan dan keraguan itu terus membayangi pikiranku.

Aku pun menyadari, selama ini terlalu banyak membuang waktu untuk hal-hal tidak berguna. Bermain game sampai larut malam, hingga terlena untuk libur bekerja. Padahal sekali libur bekerja, itu berpengaruh sekali untuk keuanganku. Kecanduan game benar-benar mematikan. 

Bayangkan saja, di sela-sela padatnya waktu kuliah dan organisasi, aku masih harus memenuhi target pemasukan sekitar 100 ribu per hari. Belum lagi, jika pada hari tertentu ada kuliah umum atau acara yang diadakan organisasiku, sudah pasti aku harus merelakan waktu bekerjaku.

Tak lama kemudian, Ahmad datang. Kami bersalaman, seperti biasanya.

“Sudah lama? Sorry ya tadi dompetku ketinggalan,” ucapnya meminta maaf. 

“Santai aja, silakan duduk!”

Ahmad bergegas duduk dan langsung membaca daftar menu yang masih tak tersentuh olehku.

“Kamu sudah pesan, belum?” ucap Ahmad memastikan.

“Belum. Sekalian aja,” sahutku datar.

Ahmad melambaikan tangan ke arah pelayan kafe. Seketika pelayan itu menghampiri dengan membawa kertas catatan. Ahmad memesan satu porsi pisang keju coklat dan es kopi susu, sedangkan Aku memesan kentang goreng dan es kopi susu. 

Saat itu suasana di kafe tak terlalu ramai, hanya alunan lagu Fourtwenty yang mengiringi dengan beberapa orang yang bertukar tawa.

“Tumben ngajak nongki. Ada apa, nih?” tanya Ahmad memantik.

“Aku mau cerita, soalnya lagi bingung sekarang,” kataku dengan air muka serius.

“Cerita saja, ada apa?” Ahmad mengarahkan segenap perhatiannya.

“Jadi gini… sebentar lagi kan masuk semester baru, kamu tau sendiri kan gimana sibuknya aku. Mulai dari kuliah, rapat, dan kerja. Apalagi karena pandemi, uang tabunganku makin tipis. Aku jadi ragu bisa lanjut atau tidak semester depan,”

Ahmad seketika terenyuh mendengar pengakuanku. Ia diam beberapa saat. 

“Hmm… gimana, ya?” Ahmad bergumam sambil menopang wajahnya dengan tangan.

Aku masih menunggu pendapat darinya.

“Oke. Jadi gini ya, Raf. Mending… kita makan dulu. Hehe.” 

“Alah, kamu ini.”

“Santai lah, bawa rileks dulu. Aku ada kok saran buatmu, tapi nanti,” ucap Ahmad menenangkan.

Tak lama kemudian, pesanan kami datang ke meja. Pelayan kafe itu melempar senyum dan ucapan selamat menikmati sebelum meninggalkan kami. Volume lagu makin bertambah seiring bertambahnya pengunjung yang datang. Kami menikmati makanan dengan obrolan yang lebih ringan dan sesekali bertukar sumpah serapah. 

Makanan telah habis,  segala pengakuan dan penyesalan pada dia yang kami sebut  gebetan juga tak luput dalam pembahasan. Aku kembali mengajukan kebimbanganku sejak awal kepada Ahmad.

Ia merapikan posisi duduknya.

“Oke, begini. Aku paham kesibukan kamu, Raf. Berhubung minggu depan kita UAS, nah mending fokus ke situ. Di sela waktu UAS itu kamu bisa sambil ngojek kan? Pokoknya masalah organisasi nomor ketiga kan dulu lah. Kerja dulu yang utama!” ujar Ahmad meyakinkan.

Aku mengangguk mengiyakan.

“Bismillah aja, Raf. Yakin aja Tuhan punya rencana baik ke depannya!” sambungnya.

***

UAS berlangsung selama seminggu. Aku berusaha semaksimal mungkin membagi waktu untuk belajar dan bekerja. Aku meyakinkan diriku agar tidak libur untuk bekerja, meskipun saat ini sedang musim hujan. Game-game segera ku hapus dari ponsel, untuk meminimalisir kecanduanku terhadap game.

“Mau ke mana?” tanya Ibu.

“Kerjo, kerjo, tiada hari tanpa kerjo,” ucapku dengan nada bercanda. 

“Owalah, gayamu, Nak. Kuliahnya sudah selesai?” celetuk ibu.

“Sudah. Makanya mau pamit.”

“Jas hujan dibawa, ya! Harinya mendung, sore sering hujan,” pinta ibu.

Aku memasukkan jas hujan dan sandal jepit ke dalam jok motor, lalu bergegas pamit kemudian menyalakan aplikasi ojol driver-ku. 

Siang yang terik membuatku terlempar dalam ingatan, di mana sudah hampir tiga tahun aku memakai jaket hijau kebanggaan ini setiap hari. Rasanya sudah ribuan pesanan kuantarkan ke alamat mereka. Mulai dari anak-anak, remaja, pria rewel, ibu-ibu sosialita, hingga nenek tua, semuanya pernah kuhadapi. Panas terik dan hujan badai pernah kutempuh demi mengantar pesanan customer. Menyenangkan bisa bekerja seperti ini, tak terlalu terikat oleh jam kerja dan bisa mengatur waktu sendiri. Hanya saja, semua perlu pengorbanan lebih untuk mendapatkan hasil yang lebih.

Tiba-tiba ponselku berdering nyaring. Tanda orderan pertama hari ini masuk. Aku menepikan motorku ke pinggir jalan. Aku mengecek jenis layanan yang masuk dan biaya ongkos kirimnya. Saat itu masuk orderan pesan antar makanan. Kukonfirmasi pesanan itu kepada customer dan segera meluncur ke resto yang diminta. 

Sekitar lima belas menit menunggu pesanan jadi, aku kembali menuju alamat pengantaran. Tiap hari kulakukan rutinitas ini di sela-sela waktu kuliah dan organisasi. Biasanya, aku menetapkan target sekitar 8 orderan yang harus diselesaikan agar mencukupi tiap keperluan. Biasanya diperlukan waktu sekitar 8 jam untuk mencapai target tersebut, namun bisa cepat, tergantung situasi orderan sedang ramai atau tidak. Tapi terkadang, adanya jam kuliah dan rapat dadakan, membuatku harus benar-benar pintar mengatur waktu. 

***

Seminggu pertama UAS, aku bisa mengatur waktu kuliah dan bekerja dengan baik. Di minggu kedua, hujan kerap turun di sore hari. Tak hanya itu, debit air yang meningkat akibat dari pasangnya air sungai menjadikan aku tak bisa bekerja. Hal ini juga membuat masyarakat panik. Ini pertama kalinya terjadi banjir di daerahku.

“Astaghfirullah, air semakin dalam. Hujan hampir tiap hari,” keluh ibu.

Jalanan di komplekku sudah terendam banjir dengan ketinggian air hampir mencapai lutut. Sebagian tetangga sudah ada yang mengungsi ke rumah keluarga atau posko pengungsian yang ada di depan komplek. Termasuk ibu, aku memintanya agar segera mengungsi ke rumah kakak perempuanku yang banjirnya tak terlalu parah. 

“Nanti Rafli yang jaga rumah. Ibu ke rumah Kak Ainah saja,” ucapku meyakinkan ibu yang dilanda kebingungan.

Ibu setuju, meski dari rautnya agak khawatir padaku. Aku bergegas menelepon Kak Ainah.

Aku memilih tetap berada di rumah bersama bapak-bapak yang tetap mengontrol situasi di komplek. Karena beredar kabar, ada maling yang beraksi menggunakan sampan di saat rumah ditinggal pemiliknya.

Keadaan seperti ini berlangsung hampir dua pekan. Sejumlah bantuan sembako dibagikan kepada warga yang terdampak banjir. Aku tak bisa pergi jauh, sebab akses jalan juga terputus. Mau tak mau, aku harus menerima kenyataan tak bisa mencari uang untuk membayar UKT. 

“Ya Allah, kuserahkan semua yang terbaik pada-Mu,” lirihku dalam doa. 

***

Tenggat pembayaran UKT telah tiba bersamaan dengan banjir yang sudah mulai surut. Beberapa warga sudah kembali ke rumahnya masing-masing. Ketakutanku kian nyata, aku masih kekurangan dana. Tak tega rasanya menceritakan semua ini pada ibu. Aku takut menambah beban pikirannya. Aku sudah menyerahkan semuanya, usahaku untuk bekerja ternyata belum maksimal. Rasanya, ini adalah pukulan yang sangat berat bagiku. Aku tak bisa menyelesaikan kuliahku, namun tanggung jawabku sebagai Ketua Pelaksana pada acara UKM harus tetap kulaksanakan.

“Mad, sepertinya aku memang gak bisa lanjut semester depan,” ucapku menelepon Ahmad.

“Hah? Astaga, jangan menyerah dulu. Kamu coba dulu, Raf!” sahut Ahmad.

“Mau coba apa lagi? Besok sudah batas terakhir pembayaran,” elakku.

“Payah sekali kamu ini! Besok kita harus ketemu!” pinta Ahmad.

Aku tak menghiraukan perkataan terakhirnya. Kututup telepon itu dan kembali menatap langit-langit rumahku. Pikiranku kusut, aku masih tak menyangka perjuanganku akan berhenti di sini. Aku kehilangan kepercayaan diri, dan mengutuk diriku sendiri atas semua  yang terjadi. Aku juga bingung bagaimana nantinya jika ibu tahu kalau aku tak bisa melanjutkan kuliah. Sungguh, tak sanggup aku untuk mengatakannya.  

Masih dalam batin yang berkecamuk, aku menutup mata. Air mataku menetes di ujung malam.

***

Pagi datang bersama suara ayam yang bersahut-sahutan. Aku ingin memastikan semuanya baik-baik saja, aku ingin memulai sesuatu yang baru. Sesudah sarapan bersama ibu, aku bergegas untuk menjalani rutinitasku sebagai ojek online, hari ini batas terakhir pembayaran UKT, dan dua minggu lagi semester enam akan dimulai.

Aku memacu motorku menyusuri jalan-jalan kota. Berjuang sendiri jadi tulang punggung keluarga. Sebenarnya harapanku hanya satu, bisa selesai kuliah. Tak peduli dengan masalah percintaan. Tapi, barangkali Tuhan punya rencana lain, yang lebih baik tentunya.

Pagi sudah hampir habis, matahari mulai berada di titik tertinggi dan sudah empat orderan yang telah aku selesaikan. Aku pun berkumpul bersama rekan Gojek yang lain di pangkalan. Rata-rata usia mereka sudah berumah tangga, hanya aku di pangkalan ini yang belum punya istri dan anak, bisa dibilang paling muda. Tak lama, ponselku berdering. Ada telepon dari ibu.

“Assalamualaikum. Halo, Bu. Ada apa?” 

“Waalaikumussalam. Ini, Nak. Ada Ahmad dan katanya Tim Fakultas datang ke rumah. Kamu bisa pulang sekarang ngga?”

“Astaga, ada apa ya? Baiklah kalau begitu. Aku langsung ke sana, Bu!” tutupku.

Aku bergegas pulang. Aku pamit dengan rekan sepangkalan yang sedang asyik menyantap gorengan.

“Hati-hati di jalan!” ujar Bang Zali, salah satu rekan Gojek.

Lima belas menit kutempuh tanpa kemacetan. Aku tiba di rumah dan melihat Ahmad, Tim Fakultas, dan ibu masih mengobrol di ruang tamu. 

“Assalamualaikum,” ucapku.

“Waalaikumussalam,” jawab mereka serentak.

“Nah, itu dia Rafli, Pak!” kata Ahmad ketika melihat wujudku.

Aku tersenyum kepada mereka dan masuk sebentar berganti pakaian. 

Tak lama, aku bergabung di ruang tamu. Kuamati Tim Fakultas itu membawa beberapa berkas dokumen dan Ahmad memberikan kode lewat jempolnya.

“Maaf sebelumnya membuat menunggu,” ucapku.

“Tidak apa-apa.”

“Oh iya, perkenalkan saya Lukman dan di samping saya ada Pak Andrea. Kami dari Tim Fakultas kampus. Kami ada mendapat laporan dari temannya mas ini, Mas Ahmad ya, kalau Mas Rafli lagi kesulitan membayar UKT. Apakah itu benar?” tanya Pak Lukman.

“Iya, benar, Pak,” sahutku singkat.

“Nah, jadi begini mas. Kami di sini ingin memverifikasi terkait keadaan keluarga Mas Rafli. Tadi sudah ngobrol juga sama Ibu Mas Rafli. Iya kan, Bu?” tanya Pak Lukman.

Ibuku sekadar memberi anggukan mengiyakan. Sedangkan Pak Andrea masih berkutat dengan kertas dan pulpen.

“Berdasarkan survei kami hari ini, selamat Mas Rafli, kami akan memberikan bantuan UKT sebesar 2,4 juta, disesuaikan dengan kategori bantuan yang ada ya,” 

Aku melongo tak percaya. “Serius ini, Pak?!” lanjutku memastikan.

“Iya, benar. Silakan tanda tangan di sini!” sahut Pak Andrea.

Aku merasakan seperti sedang bermimpi. Tapi ini nyata, sesuatu yang tak terduga.

“Alhamdulillah Ya Allah, terima kasih banyak, Bapak! Terima kasih!” ucapku penuh syukur dengan mata berkaca-kaca.

Ahmad ikut tersenyum bahagia. Ibu mengucapkan syukurnya lebih pelan, halus, dan seperti terpaku mendengar semuanya. Kami luruh dalam kebahagiaan dan rasa syukur.

Seketika aku teringat lagi dengan kutipan seminar prodi, sebulan yang lalu. Sekecil apapun usaha yang kita lakukan, pasti akan membuahkan hasil yang tak terduga. []

TAMAT

Penulis: Reza Syarief

2 thoughts on “Garis Waktu

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *