MIDAH Simanis Bergigi Emas: Sebuah Kisah Menuju Pendewasaan Diri

Sharing is Caring
       
  

“Rumah baik-baik adalah tempat yang paling aman buat wanita, bukan kehidupan rombongan pengamen seperti ini. Mau engkau aku antarkan pulang?”

Pramoedya Ananta Toer, MIDAH Simanis Bergigi Emas (hlm. 42)

Judul: MIDAH Simanis Bergigi Emas

Penulis: Pramoedya Ananta Toer

Penerbit: Lentera Dipantara

ISBN: 978-979-97312-7-2

Tebal: 132 halaman

Tahun: 1955

Harga: Rp. 32.000,00

Selain novel “Bumi Manusia”, salah satu novel karya Pramoedya Ananta Toer yang berkesan adalah “MIDAH Simanis Begigi Emas”. Novel ini ditulis pada warsa 50-an dengan berlatar tempat Jakarta. Tokoh utama pada novel ini bernama Midah yang tidak memiliki nama panjang, Midah seorang perempuan yang memiliki kulit kuning, wajahnya agak bulat, senyum yang manis, dan sangat cantik. Midah dilahirkan di tengah keluarga yang taat beragama. Bapaknya bernama Hadji Abdul yang sangat menyukai musik-musik berbau Arab. Midah sangat dimanja oleh bapaknya karena ia adalah anak tunggal, ketika kedua orang tua Midah memutuskan untuk menambah keturunan, ia merasa disepelekan. Perhatian bapaknya tidak lagi tertuju hanya pada Midah tetapi bapaknya lebih perhatian kepada adik-adiknya. Midah merasa terkucilkan di rumahnya sendiri dan semua perhatian bapaknya telah dirampas oleh adik-adiknya. Merasa begitu, Midah berubah dan menjadi sering ke luar rumah hingga sore hari atau bahkan hingga malam hari begitu seterusnya. Tetapi tetap saja bapaknya tidak perduli dan cuek. Apalagi ibunya, situasi dirumah tidak berubah sama sekali ketika Midah mulai berubah sering keluar malam. Situasi seperti ini membuat Midah menjadi betah akan dunia luar.

Dijalanan Midah sering kali kena pikat dengan pengamen keliling, terutama lagu-lagu keroncongnya. Karena sangat menyukai musik keroncong, Midah pun sampai membeli piringan hitam lagu keroncong. Ia selalu mendengarkan lagu keroncong sampai-sapai dia menjadi hafal setiap liriknya. Namun, lagu keroncong ini membuat bapaknya Midah menjadi marah karena si bapak yang tidak suka anak perempuannya mendengarkan lagu-lagu haram. Midah dihajar habis-habisan oleh bapaknya hingga membuat Midah menyimpan rasa benci kepada bapaknya di tengah rasa takut yang berkecamuk di hati. Hingga suatu hari ketika bapaknya ingin menikahkan Midah dengan laki-laki pilihannya. Bapaknya mengajukan syarat bahwa laki-laki itu harus berasal dari Cibatok, desa bapaknya, berharta, dan taat beragama. Midah pun menuruti perintah ayahnya, setelah 3 bulan lamanya pernikahan itu, Midah pergi meninggalkan suaminya yang bernama Hadji Terbus dalam kondisi hamil. Midah pergi karena ia mengetahui bahwa Hadji Terbus memiliki banyak istri.

Pramoedya menggambarkan fase pelarian Midah menjadi sosok perempuan muda yang begitu kuatnya untuk bertahan hidup di kerasnya kehidupan Jakarta. Midah digambarkan sebagai orang yang tidak mudah menyerah dengan nasib hidup. Walaupun ia hanya menjadi penyanyi dengan panggilan simanis bergigi emas dalam kelompok pengamen yang menyanyi dari satu resto ke resto lainnya. Dengan usia kandungan yang semakin membesar dari hari ke hari, Midah memang tampak kelelahan tetapi tidak menurunkan semangatnya untuk terus bertahan hidup. Situasi jalanan yang liar dan ganas harus ia lewati. Midah harus berjuang dengan cara menjadi seorang penyanyi sekaligus seorang pelacur. Pram memperlihatkan ketegangan antara jiwa seorang humanis dan moralis lewat novel yang ringan. Di sisi lain, Pram menegaskan kekuatan seorang perempuan yang berjiwa dan berpribadi kuat melawan kerasnya kehidupan. Seorang perempuan yang tidak mudah ditaklukkan oleh siapa pun. Namun, di sisi lain Pram ingin memperlihatkan kebusukan kaum moralis lewat tokoh Hadji Terbus, juga Hadji Abdul yang hanya rajin zikir tapi miskin citarasa kemanusiaan dan juga serakah. Sebuah novel ringan, elegan, dan penuh pesan moral dengan citarasa bahasa khas Pramoedya Ananta Toer.

Kelebihan dari novel adalah novel ini ditulis dengan jumlah halaman yang lebih sedikit daripada novel trilogi karya Pramoedya lainnya, sehingga membuat novel ini menjadi bacaan yang ringan dan tidak membutuhkan waktu yang lama untuk membacanya sampai akhir. Walaupun hanya 132 halaman, pesan-pesan moral yang disampaikan oleh Pram sangat bermakna bagi pembacanya. Novel ini memotivasi para pembacanya agar tidak mudah menyerah dalam bertahan hidup dan memberi pesan bagi pembaca bahwa kita sebagai orang yang taat janganlah pula miskin rasa kemanusiaan.

Selain mempunyai kelebihan, novel ini tentunya juga mempunyai kekurangan yaitu sama dengan novel karya beliau yang lainnya, novel ini memiliki bahasa yang sulit dimengerti secara langsung. Ditulis pada tahun 1950-an membuat gaya bahasa novel ini menjadi kurang pas untuk dibaca kalangan muda saat ini padahal pesan yang termuat dalam novel ini sangat bagus. Serta banyak ditemukan percakapan yang kurang jelas karena tidak ada tanda kutip pada dialognya.


Penulis : Rini

Editor : Fitriana

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *