Angin Kecil Bernama Arjuna

Angin Kecil Bernama Arjuna

Sharing is Caring
       
  

Untuk sekian banyak alasan, seseorang memilih menyerah mengejar apa yang ia inginkan. Seperti ranting yang patah, mengira dirinya tak pantas untuk kembali tegak. Padahal, ia hanya sedang menunggu musim baru untuk datang.

Di taman rumah sakit yang cukup luas, pohon flamboyan berayun pelan tertiup angin. Bunga-bunganya jatuh perlahan, menari di udara sebelum menyentuh tanah. Di bangku besi yang mulai berkarat, seorang gadis duduk dalam diam. Kursi roda menjadi penopang tubuhnya yang dulu ringan melayang di atas panggung. Sekarang, hanya sepi yang menemaninya.

“Halo…”

Sebuah suara menyapa, lembut namun ragu. Seorang remaja laki-laki berdiri tak jauh dari bangku. Senyumnya lebar, tapi matanya sedikit layu. “Kamu Melodi, kan? Balerina itu?”

Melodi diam. Ia sudah lelah mendengar masa lalunya disebut seolah itu hanya dongeng.

“Aku sempat lihat kamu pentas waktu itu,” lanjutnya. “Ayahku bilang, kamu bisa jadi balerina hebat suatu hari nanti.”

“Balerina hebat, kamu bilang?” Melodi menoleh tajam. “Kamu ngeledek aku?”

Remaja laki-laki itu terdiam. Matanya turun ke kursi roda dan kaki Melodi yang dibalut perban.

“Balerina mana yang nggak bisa jalan?” suara Melodi terdengar seperti retakan kecil yang belum pulih.

Anak itu tak berkata apa pun. Ia hanya berlutut perlahan, meletakkan tangan kanan di dadanya. “Maaf,” ucapnya tulus.

Melodi memalingkan wajah. Ia benci tatapan kasihan, tapi kali ini … rasanya berbeda.

“Aku Arjuna,” katanya sambil duduk di tanah, di depan Melodi dan menarik napas dalam.

“Aku suka berenang dan lari. Tapi … kadang napasku tidak bisa bekerja sama.”

Melodi melirik, sedikit penasaran namun acuh.

“Itu beda, sekarang kamu masih bisa jalan dan masih bisa lari. Gak kayak aku. Lagian, ngapain sih kamu di sini?”

Arjuna mengangkat bahu. “Supaya kamu tahu, kamu nggak sendiri. Kaki kamu … mungkin belum bisa jalan sekarang. Tapi kamu punya waktu. Kamu masih bisa jadi balerina.”

Melodi menatap mata Arjuna. Jernih. Jujur. Penuh keyakinan.

Bersamanya, untuk pertama kali sejak kejadian itu, Melodi merasa … dunia belum sepenuhnya menutup pintunya.

“Ayahku bilang, nggak ada yang benar-benar mustahil di dunia ini, tapi kamu harus yakin dan benar-benar berjuang.” Arjuna mengulurkan tangan. “Mau berteman?”

Melodi terdiam, menghela napas. Perlahan, ia ulurkan tangannya dengan ragu. Mereka berjabat tangan dalam diam, seperti mengikat janji yang belum mereka mengerti.

Senyum kecil muncul di bibir Arjuna karena penerimaan dari Melodi,teman barunya dan juga gadis yang selama ini disukainya.

Hari-hari berikutnya terasa lebih ringan. Kadang Melodi datang lebih dulu, kadang Arjuna sudah duduk di bangku taman menunggu. Mereka tidak selalu bicara. Kadang hanya saling diam, tapi kehadiran Arjuna membuat dunia Melodi terasa lebih hangat.

Kini, Melodi terbiasa dengan hadirnya Arjuna dalam hidupnya dan menganggap Arjuna pahlawannya. Sedangkan Arjuna, dia merasakan hidupnya bercahaya dengan sedikit ketakutan yang ada. Arjuna menggenggam inhaler dan dengan cepat mengalihkan pandangannya setiap Melodi datang padanya.

Arjuna banyak tertawa dan kadang banyak bicara. Namun, sesekali Arjuna tercekat, terlalu lelah menahan napas yang berat. Kadang ia menatap Melodi lebih lama dari biasanya,seolah sedang mengingat wajah gadis itu untuk dirinya sendiri.

Hingga suatu hari…

Langit mendung. Udara terasa ganjil.

Kaki Melodi mulai bisa digerakkan. Langkah pertamanya masih gemetar, tapi ia tertawa kecil. Ingin segera menunjukkan pada Arjuna. Tapi hari itu, Arjuna tidak datang.

Melodi menunggu. Dari siang, langit mendung perlahan berubah jadi kelabu pekat. Burung-burung taman pulang lebih cepat, dan angin sore terasa ganjil seolah membawa sesuatu pergi diam-diam.

Ia mencoba menyibukkan diri, menghitung bunga flamboyan yang gugur, mencoret-coret buku catatannya. Tapi tak ada yang bisa menggantikan suara langkah pelan yang biasa datang dari belakangnya.

Keesokan harinya, ia datang lebih pagi. Duduk lebih lama. Menunggu lebih dalam. Tapi bangku itu tetap kosong.

Hari-hari setelahnya, taman yang dulu terasa hangat kini menjadi sunyi yang menusuk.

Ia bahkan pernah memberanikan diri bertanya pada perawat di rumah sakit, namun tak satu pun mengenal nama Arjuna.

Melodi tidak tahu sejak kapan menunggu menjadi kebiasaan yang menyakitkan. Tapi ia tetap datang. Bukan untuk belajar berjalan. Bukan untuk terapi lagi. Tapi untuk duduk… dan percaya. Bahwa suatu hari, Arjuna akan kembali. Meski hatinya tahu, mungkin tidak.

Beberapa Tahun Kemudian

Cahaya panggung menari di wajah seorang gadis muda yang berdiri tegak. Gerakannya anggun, napasnya teratur, setiap putaran menggetarkan udara. Melodi,nama yang dulu nyaris hilang,kini bergema di teater, televisi, hingga koran-koran ibu kota.

Ia telah menjadi balerina persis seperti harapan dan mimpinya.

Namun tak satu pun penonton tahu, setiap kali ia menari, ada satu nama yang dibisikkan dalam hati. Tidak ada yang tahu, ada kerinduan di setiap gerakan anggun Melodi.

Arjuna.

Ia tidak pernah tahu apa yang sebenarnya disembunyikan anak laki-laki itu. Yang ia tahu, suatu hari Arjuna menghilang. Tanpa pesan, tanpa pamit.

Hingga satu sore, ibunya menyerahkan sepucuk surat tua. Kertasnya kusut. Tinta birunya pudar.

Untuk Melodi.
Kalau suatu hari kamu bisa menari lagi, jangan bilang itu karena aku.
Tapi karena kamu memang pantas terbang.
Maaf karena aku lemah. Aku mungkin tidak bisa bertahan.
Aku cuma ingin jadi angin kecil yang bantu kamu melompat.
Tolong... jangan lupakan aku, ya.

Melodi memejamkan matanya sebentar, meredam sesak di dadanya saat membaca surat itu. Arjuna terlalu sempurna untuk seseorang yang rapuh.

Melodi bergerak membalik kertas dan kembali menemukan goresan tinta di sana. Tangannya gemetar ketika membaca ulang tulisan Arjuna.

Dari Arjuna untuk Melodi

Untuk sekian lama,
rapuh itu perlahan tumbuh kembali,
berakar dari luka,
berdaun harapan.

Tak ada yang menyangka,
di balik mekarnya langkahmu yang baru,
ada jiwa yang diam-diam luruh,
namun tersenyum paling dulu.

Aku tidak ingin kau menoleh ke belakang
aku hanya ingin kau menari,
bersama angin yang dulu kita ajak bicara,
bersama mimpi yang pernah kita rawat. 

Di bangku taman yang diam-diam menjadi saksi,
kau tidak perlu mengingat aku dalam setiap gerak,
cukup terus menari,
karena di setiap lompatanmu,
aku telah ada di sana.

Jadi angin kecil,
yang mengangkatmu tanpa jejak.

Arjuna.

Malam itu, Melodi berdiri di atas panggung gala. Ia membuka tarian terakhirnya dengan langkah perlahan,hampir seperti waktu ia pertama kali belajar berjalan lagi.

Putaran demi putaran mengalir, dan di akhir tarian, satu air mata jatuh ke lantai panggung. Langkah itu membawanya ke masa lalu, ke jejak Arjuna yang diam-diam menuntunnya.

Dan saat lampu meredup, Melodi tahu. Ini bukan sekadar tentang mimpi yang hidup kembali. Ini tentang pertemuan yang menyalakan harapan,dan perpisahan yang membuatnya tak pernah padam.

Malam itu, di bawah cahaya panggung, Arjuna menari bersamanya. Dalam diam. Dalam ingatan. Dalam semua angan dan harapan.

Penulis: Riski Handayani

Penyunting: Dewi

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *