Diskusi Publik Buka Tabir Kegagapan ULM Hadapi Skandal Guru Besar

Diskusi Publik Buka Tabir Kegagapan ULM Hadapi Skandal Guru Besar

Sharing is Caring
       
  

Banjarmasin, Warta JITU— Forum Ambin Demokrasi bersama LK3 Banjarmasin menggelar diskusi publik bertajuk Profesor; Antara Fantasi, Harga Diri dan Kompetensi di Rumah Alam Sungai Andai, Jumat (3/10). Diskusi ini dihadiri akademisi, jurnalis, organisasi profesi, hingga alumni ULM.

Pembahasan menguliti polemik pencabutan 17 guru besar Universitas Lambung Mangkurat (ULM) yang makin meluas dan disebut telah mencoreng marwah akademik Banua. Bukan hanya soal siapa yang benar dan siapa yang salah, tetapi juga menyangkut kredibilitas komunikasi publik kampus tertua di Kalimantan Selatan.

Empat pemantik utama hadir: Fahriannor (akademisi dan alumni ULM), Dharma Putra, Toto Fachrudin dari Radar Banjarmasin, serta Hari Tri Widodo dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI). Diskusi berlangsung kritis, diselingi sindiran pedas terhadap cara ULM menangani krisis.

Toto Fachrudin menegaskan, media tidak gegabah dalam memberitakan kasus besar ini. Sikap kampus yang berbelit-belit justru membuat pemberitaan semakin liar.

“Kami tidak serta-merta memberitakan. Perlu kroscek berkali-kali, rapat redaksi pun berulang, sampai akhirnya diputuskan untuk diturunkan. Itu pun tidak online, kami pilih cetak di koran,” jelasnya.

Fahriannor sebagai salah satu pemantik. Sejalan dengan Toto, Ia menilai kegaduhan bisa dicegah jika ULM tanggap sejak awal. Ia juga menambahkan, pencabutan guru besar tidak mungkin dilakukan tanpa alasan serius, seperti pelanggaran etika, penyalahgunaan jabatan, atau pemalsuan dokumen.

“Alumni juga ikut berperan menjaga marwah ULM. Tapi kalau kampusnya sendiri gamang, bagaimana marwah itu bisa dipertahankan?” sindirnya.

Sementara itu, Dharma Putra menyoroti faktor mentalitas. Menurutnya, gelar profesor kerap dianggap jalan pintas untuk status sosial dan finansial. Apabila hanya tekad yang dibutuhkan maka dapat merusak martabat akademik.

“Pendapatan guru besar relatif lebih tinggi. Apalagi aturan pemerintah membuat serba mahal, wajar ada yang tergoda. Tapi jelas, guru besar itu bukan sekadar gelar. Ia harus dibarengi penelitian dan terobosan,” katanya.

Dharma juga mengkritik budaya kampus yang kerap membalikkan fakta.

“Di perguruan tinggi, orang yang salah sering ditutupi, tapi orang yang benar justru disebut pendusta,” sindirnya.

Diskusi publik semakin panas bersama Forum Ambin Demokrasi dan LK3 Banjarmasin (Dewi/Warta JITU)

Kebingungan publik semakin diperparah oleh sikap plin-plan pernyataan kampus. Hari Tri Widodo dari AJI menyinggung soal perbedaan pernyataan kampus.

“Tanggal 29 September, saat kami mencoba menghubungi pihak ULM, dikatakan tidak ada surat masuk. Tapi pada siaran pers 3 Oktober diterangkan bahwa ULM menerima surat pada tanggal 29 September,” ungkapnya.

Ia juga menyebut Wakil Rektor Bidang Akademik, Iwan Aflanie, menolak memberikan keterangan karena dianggap melangkahi rektor. Perubahan pernyataan yang ditampilkan membuat kredibilitas kampus semakin runtuh.

Suasana diskusi memanas ketika sastrawan Ahmad Azhar angkat bicara. Ia menilai sebagian guru besar justru korban dari sistem yang berbelit.

“Tak bisa dipungkiri, sebagian guru besar itu adalah korban dari suatu sistem dan prosedur rumit atau sengaja diperumit oleh oknum yang punya kepentingan tertentu,” ucapnya.

Ia bahkan mengibaratkan kasus isi seperti narkoba, membuat orang terjerat tanpa sadar. Namun, ditolak oleh Noorhalis Majid. Baginya, profesor tetaplah sosok yang punya kemampuan berpikir jernih, sehingga bisa membedakan dampak dari perbuatannya.

“Seharusnya sebelum menerima, sudah berpikir panjang tentang akibatnya,” tandas Noorhalis.

Seorang alumni ULM turut meluruskan isu publik soal akreditasi.

“Kualitas akreditasi program studi melibatkan banyak stakeholders. Jadi tidak semerta-merta dengan menambah guru besar, akreditasi langsung unggul,” tegasnya.

Diskusi ditutup dengan pesan agar kampus tidak diam membiarkan media bekerja sendirian.

“Mestinya ada gerakan-gerakan dengan bukti sosial, biar jelas dan tidak simpang siur,” kata Toto. Hal itu diamini oleh Hari dari AJI, yang menilai transparansi kampus adalah jalan keluar dari krisis.

Kini, kasus guru besar ULM bukan lagi soal pencabutan 17 surat keputusan. Lebih jauh, publik melihat cara sebuah universitas mengelola krisis. Klarifikasi yang berubah-ubah membuat kampus terlihat gagap dan tidak konsisten.

Pertanyaannya, jika urusan surat saja simpang siur, bagaimana publik bisa percaya ULM mampu menjaga kehormatan guru besarnya?

Penulis: Dewi, Nova Asri

Penyunting: Asil

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *