Efektivitas Sistem Presentasi Tiap Pertemuan Dipertanyakan Mahasiswa

Efektivitas Sistem Presentasi Tiap Pertemuan Dipertanyakan Mahasiswa

Sharing is Caring
       
  

Sistem perkuliahan yang menugaskan mahasiswa untuk melakukan presentasi kelompok di setiap pertemuan kini menuai beragam tanggapan.

Metode yang pada awalnya dirancang untuk menumbuhkan kemandirian belajar dan kerja sama antarmahasiswa ini justru dinilai sebagian pihak kurang efektif karena tidak semua peserta terlibat aktif dalam proses pembelajaran.

Maesya Nursabillah, mahasiswa angkatan 2024 Program Studi Pendidikan Sosiologi, menilai bahwa sistem tersebut kerap menimbulkan ketimpangan partisipasi.

“Biasanya di awal semester dosen langsung membagi kelompok setelah menjelaskan kontrak kuliah. Dari situ mulai kelihatan, ada kelompok yang aktif dan ada yang pasif,” ujarnya.

Menurut Maesya, pembagian tugas dalam kelompok sering kali tidak berjalan proporsional.

“Kadang yang kerja cuma dua orang, sisanya diam tapi nilainya sama. Yang aktif jadi capek sendiri, apalagi kalau dosen cuma duduk dan nyimak,” tambahnya.

Ia juga menyoroti penggunaan kecerdasan buatan (AI) yang semakin sering digunakan oleh kalangan mahasiswa. “Sebenarnya nggak salah pakai AI, asal tetap ngerti. Tapi banyak yang asal copy paste aja, jadi waktu presentasi bahasanya aneh dan nggak nyambung,” ungkapnya.

Pendapat senada disampaikan oleh salah satu mahasiswa yang enggan disebutkan namanya. Ia menuturkan bahwa sistem pembagian kelompok biasanya sudah ditetapkan sejak awal semester.

“Pas semester satu, ada dua mata kuliah yang habis bahas kontrak kuliah langsung bagi kelompok buat ngebahas materi. Satu kelompok satu materi, tiap minggu ganti. Jadi dalam beberapa pertemuan, mata kuliah itu selesai,” katanya.

Namun, menurutnya, metode ini belum berjalan efektif karena mahasiswa dituntut mencari dan memahami materi secara mandiri tanpa pendampingan yang cukup dari dosen.

“Kuliah itu kan tempat belajar, tapi malah mahasiswa yang disuruh cari sendiri ABCD-nya. Nggak semua orang bisa jelasin dengan baik, jadi yang dengar pun belum tentu paham,” tuturnya.

Ia menambahkan bahwa dosen kerap hanya memberikan sedikit penjelasan tambahan setelah sesi presentasi tanpa memastikan pemahaman mahasiswa secara menyeluruh.

“Biasanya dosen cuma nambahin poin dari PPT atau bahasan kelompok, terus kelas selesai. Mahasiswa pun jarang nanya karena takut dibilang ‘kan sudah dijelaskan sama temannya’,” ujarnya.

Sementara itu, Dina (nama samaran), mahasiswa lain, mengungkapkan bahwa perbedaan karakter antaranggota kelompok sering menjadi kendala utama dalam sistem ini.

“Sifat orang beda-beda, ada yang cepat kerja, ada yang lama banget, bahkan ada yang nggak kerja sama sekali. Itu bikin pusing,” ujarnya.

Dina juga menyoroti kecenderungan mahasiswa yang bergantung pada AI dalam penyusunan materi.

“Semuanya kadang ngambil dari AI. Untung kalau masih disaring, tapi banyak yang langsung copas aja. Akhirnya kita cuma paham materi sendiri, sedangkan materi dari kelompok lain nggak masuk,” jelasnya.

Meski begitu, Dina tetap mengapresiasi dosen yang bersedia menjelaskan ulang materi setelah sesi presentasi.

“Untungnya masih ada dosen yang mau jelasin ulang, jadi lebih ngerti. Kalau nggak, ya harus belajar ulang sendiri di rumah,” tambahnya.

Ia menutup dengan pengakuan yang cukup jujur bahwa terkadang ia merasa rugi karena pembelajaran yang dirasa kurang maksimal.

“Sedikit sih, tapi tetap terasa. Apalagi aku mahasiswa jalur mandiri, jadi lumayan bayar tapi hasilnya nggak sebanding,” tuturnya.

Penulis: Dewi

Penyunting: Kiki

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *