Banjarmasin, Warta JITU— Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Persiapan Banjarmasin bersama sejumlah Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) menggelar diskusi publik bertajuk solidaritas untuk Tempo di Rumah Alam Sungai Andai pada Sabtu (16/11).
Kegiatan berlangsung dari pukul 15.00-17.00 WITA dengan menghadirkan tiga pemantik; Ahli Pers Dewan Pers Kalsel, Fathurahman; Akademisi ULM, Arif Rahman Hakim; serta Ketua AJI Persiapan Banjarmasin, Rendy Tisna.
Diskusi ini diselenggarakan sebagai respons terhadap gugatan perdata Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman terhadap PT Tempo Inti Media Tbk senilai Rp200 miliar. Hal ini dinilai berpotensi mengancam kebebasan pers dan menciptakan efek jera bagi media.
Dalam pemaparannya, Fathurahman menegaskan bahwa produk jurnalistik memiliki kemungkinan melakukan kekeliruan. Namun, gugatan perdata tersebut merupakan langkah berlebihan dan dapat mengancam kebebasan pers di Indonesia.
“Tempo sudah menunjukkan iktikad baik melaksanakan PPR yang keluar 17 Juni. Biasanya cukup memperbaiki diksi, tapi ini tetap dibawa ke pengadilan,” tukasnya.
Ia menilai persoalan yang dipermasalahkan ada pada pilihan diksi yang dianggap menyudutkan. Padahal, isu beras busuk telah diberitakan oleh banyak media nasional lain tanpa dipersoalkan. Ia menyebut, liputan Tempo dilakukan dengan verifikasi langsung ke lapangan.
“Saya tidak percaya hitungan kerugian Rp200 miliar. Tidak masuk akal. Jika kebebasan pers tergerus, kerugian publik bisa jauh lebih besar,” lanjutnya.
Arif Rahman Hakim menyoroti inkonsistensi pemerintah yang kerap memproklamirkan dukungan kritik, tetapi justru sensitif terhadap catatan media. Ia juga mengingatkan, program kementerian dibiayai uang rakyat sehingga harus siap diawasi.
“Kritik itu pupuk untuk pemerintahan. Kalau tanpa kritik, negara akan layu,” sahutnya.
Ia menilai, langkah menggugat Tempo berpotensi menakut-nakuti media lain sehingga mengurangi keberanian mengkritik kebijakan publik.
“Kita tidak akan lenyap hanya karena mengkritik. Masyarakat kita sudah banyak yang rasional,” katanya.
Sementara itu, Rendy Tisna menjelaskan bahwa diskusi ini merupakan bagian dari solidaritas nasional terhadap Tempo. Menurutnya, gugatan Kementan merupakan bentuk upaya menekan dan membungkam media.
“Yang dipermasalahkan hanya judul, bukan isi. Setelah diperbaiki pun masih tetap digugat. Kalau Kementan menang, jurnalis akan takut,” ujarnya.
Selain narasumber, audiens juga menyampaikan pendapat. Salah satu peserta menyatakan keprihatinan dan menyerukan agar pers tidak hanya menulis, tetapi juga turun ke jalan bila diperlukan untuk memastikan suara publik terdengar.

“Ini upaya membungkam pers, jadi harus dilawan!” serunya.
Peserta lainnya, Raden, menegaskan bahwa upaya kriminalisasi terhadap jurnalis sudah sering terjadi. Peran pers penting dalam menyampaikan fakta apa adanya kepada publik.
“Pemberitaan beras busuk itu sesuai fakta. Karena memang ada beras busuk di Bulog,” ungkapnya.
Diskusi ditutup dengan ajakan untuk terus menjaga keberanian pers, terutama bagi jurnalis muda. Mereka diingatkan agar tidak hanya menjadi penyampai rilis, tetapi berdiri di garis depan penyampai kebenaran berbasis data.
“Lembaga pemerintah harus diedukasi, bukan sebaliknya, membungkam. Jurnalis muda harus berani mengkritik. Jangan takut menyuarakan fakta,” tutup Arif.
Penyunting: Asil
